Di Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh terdapat sebuah kuburan yang konon diceritakan menyimpan banyak cerita mistis.
Dikalangan warga sekitar, kuburan itu lebih dikenal dengan sebutan Jeurat Panyang. Apabila diartikan dalam bahasa Indonesia, Jeurat adalah sebutan masyarakat Aceh untuk kuburan, sedangkan Panyang artinya panjang.
Atap bangunan itu terbuat dari seng. Memanjang ke barat laut. Terdapat empat tiang peyangga. Kain kuning cerah melilit sepanjang makam. Pagar kawat menjadi pengaman hingga tidak bisa menyentuh bebatuan di atas makam.
Beton yang sudah berlumut hijau menjadi pembatas lebar dan panjang bangunan, di makam itu juga terdapat batu yang berukuran lebih besar.
Di batu nisan kepala terdapat sebuah kayu berukuran 20x40 sentimeter yang sudah diwarnai dengan cat kuning. Terdapat coretan hitam yang bertuliskan, “Tuan Ku, Cheh Muhammad Din Chairullah”.
Pada sisi bawahnya ada penjelasan, “Datang ke sini pada tahun 1650. Tujuan ke Ie Mameh (daerah itu) bersama dengan sahabat. Tetapi Allah tidak mengizinkan Tuan ku Cheh tinggal di sini”.
Begitulah kondisi Jeurat Panyang ketika dilihat lebih dekat, kondisinya bersih dan terawat, hal ini karena pemilik kebunya selalu merawat dan menjaganya. Selain itu warga setempat juga sering menggelar kenduri Jeurat (Kenduri di Kuburan) setiap tahun dan mengambil keberkahan dari sosok Cheh Muhammad Din Chairullah yang terkubur di dalamnya.
Dikutip dari Tagar, seorang warga bernama Munawar mengaku tidak banyak tahu tentang sejarah kuburan tersebut, dari beberapa cerita yang ia dengar, dulu terdapat tujuh lentera berwarna emas tergantung dalam bangunan kuburan. Seiring berjalannya waktu, lentera-lentera itu hilang.
Hal mistis lain yang pernah Munawar dengar adalah, pernah masyarakat setempat mencoba memindahkan batu nisan kepala ke tempat lain. Tapi tidak berselang lama batu itu kembali lagi ke tempat asalnya.
“Dulu ada tujuh lentera emas di kuburan ini. Sekarang sudah hilang. Ada juga masyarakat setempat yang pernah mencoba memindahkan batu nisannya, tapi kembali lagi di tempat semula dengan sendirinya,” kata Munawar.
Menurut cerita Faisal yang merupakan dengar dari orang tuanya, kuburan ini telah ada sejak puluhan tahun lalu. Tepatnya pada tahun 1650 saat desa tersebut belum ada. Daerah itu merupakan rawa, bahkan tidak ada perumahan sama sekali. Tuan Ku, Cheh Muhammad Din Chairullah, bersama temannya bermaksud merantau dan melintasi daerah itu.
Makam Tuan Ku, Cheh Muhammad Din Chairullah (1650) Desa Blang Raja, Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya, Provinsi Aceh (foto: Tagar.id)
Umur tidak bisa ditebak, Cheh Muhammad Din Chairullah meninggal di lokasi tersebut hingga dimakamkan. Berganti tahun banyak pendatang dari beberapa daerah untuk bercocok tanam, termasuk nenek dari Teungku Faisal. Tahun 1674 saat sudah banyak penduduk barulah lahir nama Desa Blang Raja.
“Dulu di situ rawa. Cuma di kuburan saja yang tanahnya tinggi dan keras, makanya ditanam di situ. Dari mimpi pemilik kebunlah diketahui namanya, dan asalnya dari Padang Sumatra Barat dan tujuan ke daerah kita,” ujar Faisal dikutip dari Tagar.
Dia menceritakan, dulu memang banyak hal mistis yang terjadi di lokasi kuburan, misalnya jika ada yang membakar ranting pohon di atas kuburan tidak akan termakan oleh api, tapi jika dipindah menjauh sedikit dari kuburan baru mau terbakar. Dulu juga orang zaman melihat seekor harimau menjaga kuburan.
Baca Juga: Adee Meureudu, Kuliner Khas Aceh Cocok Cemilan saat Santai, ini Resep dan Cara Membuatnya
“Dijaga sama harimau. Sekarang rumah sudah padat, tidak ada lagi,” ucap Faisal.
Secara kasat mata jika dilihat, tentu tidak percaya ada manusia di era sekarang ini, makam itu berukuran 17 meter panjangnya. Jikapun ada tentu hanya beberapa orang saja. Begitu juga halnya dengan masyarakat setempat tempo dulu, mereka mencoba mengukur panjang kuburan sesuai dengan ukuran pada umumnya.
Namun hal itu tidak berhasil. Batu nisan kepala dan kaki yang coba didekatkan menjadi 2 meter lebih, kembali lagi ke lokasi semula atau di ukuran 17 meter. Hal ini juga menjadi sebuah hal mistis yang dialami masyarakat setempat kala itu.
“Pernah batu nisannya dipindah, tapi kembali lagi ke tempat semula. Berulang kali dilakukan tetap saja pindah sendiri, sehingga hal itu tidak dilakukan lagi dan kuburan dipermanenkan sepanjang itu,” katanya.
Baca Juga: Resep Ayam Tangkap Khas Aceh Menu Makan yang Lezat dan Gurih
Ia menambahkan, orang tua zaman dulu setiap tahun melakukan kenduri jeurat di lokasi itu, walaupun bukan di kompleks makam. Mereka mengambil keberkahan dari sosok yang terkubur karena dianggap memiliki ilmu lebih tentang agama.
“Orang tua dulu tiap tahun mengelar kenduri, berkah dari itu hasil panen berlimpah. Berselang beberapa tahun, hal itu tidak lagi dilakukan dan hasil panen berkurang. Sehingga kembali lagi dilakukan kenduri,” kata Teungku Faisal.