Para peneliti baru saja menemukan bahwa fenomena happy hypoxia tidak biasa, atau silent hypoxemia, pada pasien COVID-19 mulai banyak dialami. Kondisi ini dianggap bertentangan secara teori bahkan membingungkan para ilmuwan.
Pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung menyimpan banyak misteri. Kini lebih membingungkan adalah frekuensi silent hypoxemia, atau happy hypoxia.
Dikutip dari CNN, Rabu 26 Agustus 2020 Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan tekanan parsial oksigen dalam darah.
Baca Juga: Heboh Video Bidan di Sumsel Live Bugil di Medsos, Polisi Selidiki Secara Persuasif
Ketika kadar oksigen darah mulai berkurang, seseorang mungkin mengalami sesak napas, yang juga disebut dispnea. Jika kadar oksigen dalam darah terus menurun, organ-organ mungkin mati, dan masalahnya menjadi mengancam nyawa.
Beberapa kasus, pasien malah terasa nyaman, tidak terganggu sama sekali, bahkan bisa beraktivitas.
Padahal, dalam tingkatan yang parah, kondisi tersebut bisa mengancam nyawa.
Studi yang diterbitkan dalam American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine ini melibatkan 16 pasien Covid-19 dengan kadar oksigen yang sangat rendah, tapi tanpa sesak napas.
Mengutip Healthline, hipoksemia umumnya dapat disebabkan oleh berbagai kondisi pernapasan seperti asma, pneumonia, dan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
Baca Juga: Sebut Kejagung Dibakar 'Orang Dalam', Amien Rais Ungkit Kebakaran di BI
Hipoksemia juga terkadang dapat terjadi pada bayi baru lahir dengan kelainan atau penyakit jantung bawaan. Bayi prematur juga rentan mengalami hipoksemia.
Orang yang mengalami hipoksemia umumnya akan menunjukkan beberapa gejala seperti sesak napas, batuk atau mengi, sakit kepala, detak jantung cepat, merasa bingung, serta warna biru pada kulit, bibir, dan kuku.
Penulis utama studi tersebut, Dr. Martin J. Tobin, seorang profesor kedokteran paru dan perawatan kritis di Loyola University Medical Center, di Maywood.
Untuk memahami mengapa hal ini terjadi, Dr. Tobin dan rekan pertama kali melakukan survei informal terhadap 58 petugas kesehatan yang menanyakan apakah mereka pernah mengalami kasus silent hypoxemia, atau happy hypoxia. Tim menerima 22 tanggapan dengan data yang berguna.
Setelah menganalisis data, penulis menyimpulkan bahwa banyak kasus silent hypoxemia dapat dijelaskan melalui ilmu pernapasan konvensional. Misalnya, penyedia layanan kesehatan biasanya pertama-tama mengukur kadar oksigen dengan oksimeter denyut.
“Saat kadar oksigen menurun pada pasien dengan COVID-19, otak tidak merespons sampai oksigen turun ke tingkat yang sangat rendah, pada titik di mana, seorang pasien biasanya menjadi sesak napas," jelasnya.
“Ada kemungkinan juga bahwa virus korona melakukan tindakan aneh pada bagaimana tubuh merasakan tingkat oksigen yang rendah,” kata Dr. Tobin.
Spekulasi hal ini dapat dikaitkan dengan kurangnya penciuman yang dialami banyak pasien COVID-19. Untuk itu, dr. Tobin menyarankan agar pemakaian ventilasi tambahan tak digunakan jika bukan dalam keadaan darurat.
Sumber: CNN, Suara, Kompas