Desa Semidang, salah satu desa di Kabupaten Bengkulu Tengah. Desa dengan 119 kepala keluarga (KK) ini, sempat ditinggalkan penduduk-nya. Lamanya 35 tahun, kira-kira. Masyarakat mengungsi dari tanah kelahiran mereka, lantaran di teror puluhan ekor Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae).
Dimana, Masyarakat yang tinggal di Desa Semidang dan sembilan dusun yang saat ini menjadi desa, di wilayah tersebut ikut menjadi korban keganasan harimau. Sepanjang Tematang Panjang hingga Bukit Jenggi atau Bukit Kabu, tepatnya. Desa yang di huni 414 jiwa ini. Daerah yang berjarak sekira 35 kilometer (KM) dari Kota Bengkulu ini, sempat menjadi 'desa hilang', ditinggalkan ribuan penduduk-nya.
Salah narasumber masih ingat keganasan harimau yang menyantap masyarakat di daerah-nya kala itu. Tahun 1938, kira-kira. Saat itu istri usianya masih sekira 4 tahun. Dia sempat menjadi saksi keganasan dari harimau yang menyerang desa kelahirannya.
Kala itu, Mereka tinggal di desa Semidang, dahulunya desa ini bernama, Karang Nanding. Puluhan tahun lalu, warga di wilayah ini hidup tentram. Tidak terusik oleh harimau. Jaman itu masyarakat di daerah ini berkebun, bertani dan beternak.
Masyarakat di daerah ini mulai di serang harimau ketika turun gunung dari Bukit Jenggi, tak jauh dari desa. Ketika turun gunung, harimau memangsa hewan ternak milik warga. Mulai dari kambing dan kerbau. Tidak kurang dari belasan hewan ternak telah di makan 'si raja hutan'.
Terakhir, harimau memangsa seekor kerbau. Hewan ternak itu milik salah satu warga setempat. Tak ingin hewan ternak lainnya menjadi korban. Masyarakat berpikir membuat jebakan guna menangkap harimau yang meresahkan warga di wilayah tersebut.
Harimau itu dijebak menggunakan bangkai kerbau yang sebelumnya telah di mangsa harimau. Bangkai kerbau itu di pasang di bawah pondok. Di areal perkebunan milik warga. Ranjau itu di pasang.
Usai memasang ranjau, dengan dibekali satu pucuk senjata rakitan, kecepek. Setelah beberapa lama menunggu. Harimau pun datang dan memangsa bangkai kerbau yang sebelumnya telah dipasang. Melihat harimau sudah mulai menyantap. Warga, langsung menembak harimau tersebut hingga mati.
Setelah harimau mati, masyarakat memotong leher harimau hingga putus. Kepala harimau itu dibawa ke dusun. Setiba di dusun, kepala harimau yang memangsa hewan ternak itu digantung di simpang jalan dusun. Di pos siskamling, tepatnya. Kepala harimau itu dijadikan 'pentungan'. Konon di simpang ini lah kepala harimau di gantung di pos kamling untuk dijadikan pentungan oleh masyarakat setempat.
Baca Juga : Seram! Kisah Misteri Sosok Buaya dan Harimau Hitam Penunggu Danau di Bengkulu
Penggantungan kepala harimau tersebut, untuk membalas dendam kepada harimau yang telah memangsa hewan ternak milik warga di daerah tersebut. Sehingga warga yang melintas di daerah itu selalu memukul kepala harimau. Kepala harimau itu digantung cukup lama. Tidak kurang dari empat bulan.
Teror harimau yang menyerang masyarakat Kecamatan Semidang dengan gerombolan harimau yang menyerbu perkampungan di daerah ini dahulunya berada di atas Bukit Kabu, saat ini menjadi bukit Semidang Bukit Kabu.
Konon, sebelum menyerang dan turun ke perkampungan. Gerombolan harimau berkumpul di atas bukit Kabu, terlebih dahulu. Bukit itu berada di desa Pagar Gunung Kecamatan Semidang Lagan. Usai berkumpul gerombolan harimau langsung turun gunung dan menyerbu perkampungan.
Teror itu menghantui masyarakat sembilan dusun, yakni, dusun Tengah Padang, Gajah Mati, Karang Nanding, Karang Nanding Lama, Telarangan, Sekuang, Karang Anyar, Tanah Iluk dan Dusun Katu Becap.
Konon, warga sembilan dusun itu diserbu gerombolan harimau. Turun gunung dari Bukit Jenggi. Tidak kurang dari puluhan harimau menyerbu dusun tersebut. Gelombolan harimau turun gunung, memangsa warga ketika sedang menyadap karet, panen padi, sedang membersihkan rumput di kebun bahkan sedang tidur di dalam rumah.
Masyarakat yang berjalan secara bersama pun ikut menjadi korban keganasan harimau. Konon, 'Si Raja Hutan' memangsa warga yang berada di posisi tengah. Ketika warga berjalan tiga, maka nomor dua menjadi sasaran terkaman harimau. Di mana, warga di santap gelombolan tersebut tidak mengenal waktu. Baik pagi, siang, sore maupun malam hari.
Dari warga sembilan dusun yang ada di daerah kala itu, setiap dusun menjadi korban keganasan harimau. Teror harimau tersebut berlangsung tidak kurang dari empat bulan. Di mana masyarakat sudah menjadi korban tidak kurang dari belasan bahkan mencapai puluhan warga.
Harimau yang turun gunung ke perkampungan tersebut ingin membalas dendam atas tewasnya, seekor harimau yang telah di bunuh. Tidak hanya itu, gerombolan harimau turun gunung lantaran kesal kepala harimau dijadikan pentungan dan di pukul setiap warga yang melintas.
Baca Juga : Air Pemandian Pengantin Bengkulu Ini Dipercaya Mampu Mudah Dapatkan Jodoh dan Mendapatkan Keturunan
Konon, harimau yang di bunuh itu merupakan anak kesayang dari induk harimau. Hal tersebut diketahui ketika, yang membunuh harimau didatangi harimau dalam mimpi dengan memberikan petunjuk jika harimau yang di bunuh itu merupakan anak kesayangan harimau. Teror dalam mimpi itu juga ditandai lidah harimau menjulur panjang, berwarna merah.
Teror harimau di sembilan dusun di daerah itu membuat masyarakat menjadi ketakutan. Konon, sejak serangan gerombolan harimau, masyarakat di wilayah itu hanya beraktivitas hingga pukul 17.01 WIB. Kemudian, semua warga berada di dalam rumah hingga pagi. Kemudian, pada pagi hari masyarakat mulai keluar rumah pukul 08.01 WIB.
Tidak kurang dari empat bulan masyarakat di daerah itu bertahan. Korban keganasan harimau terus berjatuhan. Untuk menghindari korban terus bertambah, warga mulai mengosongkan daerah tanah kelahiran mereka secara berangsur. Mereka mengungsi ke Kota Bengkulu, Kabupaten Kepahiang, Rejang Lebong dan Kabupaten Bengkulu Tengah.
Mereka yang mengungsi meninggalkan semua harta benda yang selama ini sudah dimiliki. Mulai dari hewan ternak, perkebunan, lahan pertanian serta rumah. Namun, sebagian warga membawa harta kekayaan mereka dengan menggunakan pikul kerbau.
Berselang 35 tahun kemudian atau tahun 1980-an, dusun yang selama ini 'lenyap' ditinggalkan masyarakat kembali ke tanah kelahiran mereka. Mereka kembali guna mengulang harta benda mereka kala itu yang ditinggalkan. Mulai dari lahan pertanian, perkebunan serta rumah yang sudah di bangun.
Kembalinya masyarakat ke tanah kelahiran untuk menggarap lahan perkebunan, pertanian yang selama ini sudah ditinggalkan. Teror harimau yang selama ini menghantui mereka sudah mulai hilang.
Sejak teror harimau, masyarakat di wilayah ini memiliki pantangan yang tidak boleh di langgar oleh seluruh lapisan masyarakat. Baik masyarakat asli maupun masyarakat pendatang. Pantangan itu mulai dari tidak boleh keluar saat hujan panas, mengenakan kain hitam, baju hitam dan penutup kepala hitam, menjemur pakaian di depan rumah saat malam hari, junjung parang di atas kepala.
Konon, pantangan tersebut merupakan akan memancing kedatangan harimau. Bahkan, masyarakat setempat percaya ketika pantangan itu di langgar maka masyarakat akan di mangsa harimau. Pantangan tersebut dipercaya masyarakat setempat ketika masyarakat di daerah ini di teror gerombolan harimau.
Serangan gerombolan harimau masih di ingat kalangan masyarakat setempat. Tak terlebih keturunan dari masyarakat Kecamatan Semidang Lagan. Mereka yang mendiami daerah ini pun mengenang tragedi serangan harimau dengan menggelar doa bersama di bawah kaki bukit Kabu, setiap tahun. Syukuran itu diberi nama ritual semidang bukit kabu.
Syukuran yang digelar itu dengan memotong satu ekor kambing, membuat nasi pujung. Di mana bahan untuk syukuran sumbangan dari masyarakat enam desa yang ada di daerah itu. Seperti, desa Pekan Jumat, Gajah Mati, Semidang, Karang Nanding, Pagar Gunung dan desa Padang Siring.
Baca Juga : Seram! Kisah Mistis Sungai Kriyan yang Terdapat Siluman Buaya Putih yang Dikutuk di Cirebon
Saat syukuran di gelar seluruh masyarakat secara bersama membaca surah Yasin, tahlil, serta memanjatkan doa agar dijauhkan dari maha bahaya. Ritual di gelar setiap satu tahun sekali sebagai pengingat sejarah pada jaman dahulu. Ritual biasanya di gelar pada bulan Juni, bisa awal, pertengahan maupun akhir bulan. Itu di gelar setiap tahun.
Ritual tersebut, mulai berlangsung sekira tahun 1998-an. Sejak kala itu ritual masih berlangsung secara terus menerus setiap tahun. Terakhir, ritual di gelar pada tahun 2018. Di mana saat ritual berlangsung sempat dihadiri kalangan pejabat dari pemerintah daerah Kabupaten Bengkulu Tengah.