Cukup banyak generasi muda sekarang gagap sejarah, meskipun mereka tidak gagap teknologi. Generasi muda Indonesia, khususnya generasi muda Batak, tidak banyak yang mengetahui bahwa dulu Nenek moyang suku Batak, seperti halnya suku-suku lain, dikenal punya kemampuan supranatural yang luar biasa, di luar logika.
Salah satunya cerita yakni Sibiangsa sebuah ritual mengerikan yang dipercaya menghasilkan racun atau senjata sangat mematikan zaman dulu yang lazim dilakukan oleh nenek moyang orang Batak. Sibiangsa ini dikenal di beberapa daerah seperti Samosir, Silalahi, Simalungun, dan Tanah Karo.
Baca Juga : Legenda Guru Diden, Manusia Sakti Mandraguna dari Tanah Karo
Mgr. Dr. Anicetus Bongsu Sinaga, OFMCap, menulis tentang Sibiangsa dalam bukunya mendeskripsikan Sibiangsa yakni tentang ketakutan terhadap Begu Ganjang (black magic) pada masyarakat Batak. Ketakutan ini mengemuka lewat tuduhan-tuduhan yang kemudian beberapa rumah dirusak dan beberapa orang diusir atau dibunuh secara sadis.
Di beberapa kampung, banyak orang menjadi paranoia (ketakutan) dan membabi buta menuduhkan suatu penyakit atau tulah kepada ulah seseorang dukun. Mgr Anicetus memberikan contoh yang terjadi di tengah pasar Pakkat tahun 2003. Seorang yang dituduh menyandang begu ganjang diseret ke tengah publik dan langsung diramai-ramaikan sampai mati di depan pastor.
Ia lalu mengambil latar belakang bagaimana dulu nenek moyang orang Batak menjaga kehidupan mereka dengan hal-hal berbau mistik, seperti Sibiangsa. Struktur kampung pada masa itu dikelilingi oleh parit, yakni tanah galian yang diikuti oleh benteng kampung yang ditinggikan, dimana ditanam buluduri yang rapat tak tertembus, dengan hanya ada satu pintu keluar. Pada masa itu, antara kampung dipenuhi oleh rasa defensif dan ofensif, saling memerangi dan saling bertahan.
Sibiangsa atau pangulubalang kemudian berkembang dalam ranah paranoia primordial (ketakutan kampungnya diserang oleh kampung lain) dan fungsinya adalah senjata pamungkas magis: Piso pangabas di jolo, saongsaong di ginjang jala lapik-lapik di toru.
Dalam metode pembuatannya adalah sebagai yakni, seorang anak, paling disukai ialah hatoban (hamba atau budak), yang dipelihara dengan menggendutkan, memberi makanan yang enak-enak sehingga ia tumbuh gemuk dan subur. Ke telinganya selalu dibisikkan, "kemana saja engkau saya suruh, engkau harus menuruti." Dalam harapan diberi makanan, anak itu selalu mengangguk.
baca Juga : Seram! Inilah Kisah Mangai Binu, Tradisi Memburu Kepala oleh Suku Nias Tempo Dulu
Pada hari H diadakan penyumpah, manumpa. Hal ini diikuti, tak lama kemudian, oleh panggurigurion (pengwadahan). Cairan metal ditumpahkan ke dalam mulut yang disumpahi, sampai anak tersebut mati. Tubuhnya dicincang dan dimasukkan ke dalam guci atau wadah yang sudah disediakan. Barang ini menjadi amulet ofensif – defensif (senjata pamungkas).
Sesuai janji sumpah si anak, maka ia bersedia disuruh ke mana dan berbuat apa saja. Maka seringlah ia disuruh manumpur huta ni musu (menyerang kampung musuh). Bisa saja seluruh isi kampung menjadi gila, berkelahi atau mati kena tulah atau penyakit.