Seram! Inilah Kisah Mangai Binu, Tradisi Memburu Kepala oleh Suku Nias Tempo Dulu

Seram! Inilah Kisah Mangai Binu, Tradisi Memburu Kepala oleh Suku Nias Tempo Dulu

Alpandi Pinem
2020-05-21 11:14:33
Seram! Inilah Kisah Mangai Binu, Tradisi Memburu Kepala oleh Suku Nias Tempo Dulu
Suku Nias Tempo Dulu (Istimewa)



Nias memang terkenal sebagai daerah di Indonesia yang memiliki potensi wisata yang luar biasa indahnya tapi tahukah Anda bahwa Nias memiliki sejarah panjang tentang perburuan kepala manusia. Awuwukha adalah nama yang melekat dari perburuan itu.

Awuwukha memiliki arti “jurang yang dalam”, makna yang menyiratkan sosok tangguh dan tidak mudah dikalahkan. Semua hal tentang Awuwukha berawal lima generasi silam.

Dalam kisahnya, Awuwukha tinggal di sebuah desa bernama Botonadu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara), merekalah pencetus tradisi mangai binu di Pulau Nias. Ini adalah tradisi memenggal kepala manusia yang dilakukan pada zaman Nias kuno.

Kisah dari Awuwukha yang pernah amat perkasa itu terbaring tak berdaya. Bayangan liang lahat sudah tergambar sangat dekat seiring usianya yang semakin renta. Sebelum ajal menjemput, Awuwukha berucap wasiat kepada anak-anaknya yang siap menjalankan apapun permintaan terakhir sang ayah.

Mantan salah satu orang terkuat di Pulau Nias itu berpesan, jika mati nanti, ia minta ditemani 5 orang. Seorang untuk menyiapkan minuman, 1 orang membuat sirih pinang, 1 orang meladeni makanan, 1 orang untuk menjaga, dan 1 orang lagi sebagai tukang pijat (Jajang A. Sonjaya, Melacak Batu Menguak Mitos Petualangan Antarbudaya di Nias, 2008).

Usai berwasiat, Awuwukha mengerik kuku jempolnya dengan pisau sebagai penegas bahwa titah sudah ditetapkan. Dengan kata lain, anak-anak Awuwukha wajib memenuhi pesan penghabisan itu. Artinya, mereka harus memburu 5 kepala manusia untuk menemani sang ayah ke alam selanjutnya.

Praktik memburu kepala itulah yang disebut dengan istilah mangai binu, tradisi berburu kepala manusia yang cukup akrab dalam kehidupan masyarakat Nias tempo dulu.

Nama Awuwukha terlanjur lekat setiap kali membahas sejarah Nias. Bahkan, bermula dari nama orang, Awuwukha kemudian menjadi gelar kehormatan. Masyarakat Nias memang punya tradisi menyematkan gelar sesuai dengan karakter paling menonjol dari seseorang (Suhadi Hadiwinoto, Nias: Dari Masa Lalu ke Masa Depan, 2008).

Salah satunya adalah Awuwukha, gelar bagi orang yang telah melakukan owasa (upacara besar untuk meningkatkan status sosial seseorang) dalam tingkatan lebih tinggi.

Ketut Wiradnyana (2010) dalam Legitimasi Kekuasaan pada Budaya Nias menuliskan Awuwukha memiliki arti “jurang yang dalam”, makna yang menyiratkan sosok tangguh dan tidak mudah dikalahkan.

Dengan demikian, gelar Awuwukha disematkan kepada orang yang diakui paling kuat, perkasa, dan digdaya. Sebagai ukuran pemberian gelar itu adalah banyaknya kepala manusia yang pernah dipenggal oleh yang bersangkutan. Dan Awuwukha adalah emali alias penjagal terbaik pada masanya.

Dikisahkan, Awuwukha yang tinggal di sebuah desa bernama Boronadu (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara) adalah pencetus tradisi mangai binu di Pulau Nias.

Mangai binu sering pula disebut dengan istilah lokal lainnya, seperti möi ba danö, mofanö ba danö, mangai högö, atau möi emali. Kata emali disematkan kepada orang yang berperan sebagai pemburu kepala manusia macam Awuwukha.

Awuwukha menjelma menjadi penjagal kelas kakap lantaran ibu dan 7 saudaranya dibakar hidup-hidup di kediaman mereka oleh sekelompok orang dari desa lain. Para pengacau itu juga membakar lumbung padi milik Laimba, orang yang paling dihormati di desa.

Awuwukha yang datang terlambat dan melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa rumahnya telah terbakar bersama dengan keluarganya tentu saja murka besar. Ia pun bersumpah akan menuntut balas terhadap orang-orang yang telah melakukan perbuatan itu (Sonjaya, 2008).

Beberapa hari berselang, Awuwukha pulang. Langkahnya tenang lagi mantap, dengan raut muka yang mengesankan kepuasan. Ia memanggul sebuah karung yang ternyata berisi penggalan belasan kepala manusia, kepala orang-orang yang membakar rumah dan membunuh keluarganya, sekaligus mempermalukan warga desanya.

Sejak itulah, mangai binu atau perburuan kepala mulai berlaku karena apa yang telah dilakukan Awuwukha ternyata berlanjut. Musuh-musuhnya semakin banyak karena ingin membalas dendam. Namun, Awuwukha tak terkalahkan hingga menutup mata karena dimakan usia. Nama Awuwukha pun menjadi legenda, sekaligus diabadikan sebagai gelar yang diberikan untuk orang-orang sepertinya.

Tradisi memburu kepala manusia setidaknya berhasil membuat orang-orang asing berpikir seribu kali jika ingin mengusik masyarakat Nias. Stefan Anitei (2007) dalam The Island of the Head Hunters menceritakan, nyali para saudagar dari Arab ciut begitu mendengar kebiasaan aneh ini sehingga mereka lari tunggang-langgang meninggalkan daratan Nias dan kembali ke kapalnya.

Namun, mangai binu tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hanya mereka yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi, serta punya kekuasaan dan kekayaan, yang boleh berperan sebagai emali, atau setidaknya meninggalkan pesan terakhir sebelum wafat seperti yang pernah dilakukan oleh Awuwukha dulu.

Adalah seorang raja, bangsawan, kepala suku, atau tetua adat yang akan meninggal, ia akan berpesan kepada anak dan keturunannya. Apabila meninggal nanti, ia ingin dikuburkan bersama 5 kepala, 8 kepala, atau 10 kepala. Jumlahnya tergantung pada yang diminta. Dan ini wajib dipenuhi oleh anak dan keturunannya.

Pada perkembangannya, sejak Awuwukha meninggal dunia, praktek mangai binu meluas untuk berbagai kepentingan lain. Salah satunya dalam pembangunan rumah bangsawan Nias atau omo sebua. Sebagai wujud rasa syukur, kepala para tukang yang membangun rumah itu justru dipenggal untuk persembahan.

Orang yang diperkerjakan sebagai tukang biasanya adalah kaum budak atau sawuyu. Dalam adat masyarakat Nias tempo dulu, upacara-upacara pemujaan sering disertai dengan penyembelihan sawuyu (Victor Zebua, Ho: Jendela Nias Kuno, Sebuah Kajian Kritis Mitologis, 2006). Sawuyu seolah menjadi tumbal kemegahan sebuah tradisi.

Selain kepala tukang atau sawuyu, bangsawan si empunya rumah tidak jarang menugaskan kepada emali untuk berburu beberapa kepala lagi ke kampung lain jika persembahan dirasa masih kurang (Yupiter Bago dalam Victor Zebua, Kisah Awuwukha Pemburu Kepala, 2008).

Setelah mendapat mandat, para emali ini pun akan bergerilya ke kampung-kampung untuk mencari mangsa. Siapa saja yang ditemuinya, akan dipenggal kepalanya, sekalipun orang itu tidak memiliki dosa.

Mangai binu juga dilakukan oleh kaum lelaki yang hendak memperistri gadis pilihannya. Keluarga si calon mempelai perempuan biasanya meminta kepada lelaki itu untuk mempersembahkan kepala musuh. Semakin banyak jumlah kepala yang berhasil dipenggal dan ditunjukkan, semakin tinggi pula nilai si calon menantu itu.

Tradisi berburu kepala mulai memudar seiring masuknya misionaris Kristen ke wilayah Pulau Nias pada awal abad ke-20, kebanyakan berasal dari Jerman, ada juga orang Belanda. Para zending ini bisa diterima oleh orang Nias karena tidak menunjukkan kesan kekerasan serta mengenalkan hal-hal baru yang membuat warga lokal tertarik.


Share :

HEADLINE  

Kaesang Optimis PSI Tembus Senayan Minta Kader Kawal Real Count

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 17, 2024 09:44:02


Hasil Real Count KPU Sulawesi Tengah: Suara PSI Tembus 4,17%

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 21:11:41


Pemuka Agama Himbau Semua Terima Hasil Pemilu, Saatnya Rekonsiliasi

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 13:44:30