Berdasarkan buku berjudul "Sifat dan Tabiat Orang Karo" yang ditulis oleh Drs. Tridah Bangun dan diterbitkan oleh Yayasan Lau Simalem, Jakarta, 2006, dituliskan beberapa sifat dan tabiat masyarakat Karo dari Sumatera Utara.
Dari beberapa sifat dan tabiat orang Karo yang dituliskan dalam buku tersebut, salah satu sifat dan tabiat itu adalah selalu menjaga nama baik keluarga dan harga diri.
Pada penjelasan tentang sifat yang satu ini disebutkan bahwa sejak kecil orang Karo telah diajari harus pandai-pandai menjaga diri dan nama baik keluarga. Karena itu dalam kehidupan sehari-hari orang Karo sangat menghargai martabat keluarganya.
Artinya, seorang Karo selalu terpanggil jiwanya untuk membela kehormatan keluarganya jika hal itu dianggapnya pantas. Pencemaran nama baik keluarga dianggap merupakan tamparan bagi seluruh anggota keluarga turun temurun dan pasti menimbulkan dendam kesumat, yang kadang-kadang nyawa sering jadi taruhannya.
Karena harga diri dan kehormatan merupakan sesuatu hal yang dianggap mutlak dalam kehidupan masyarakat Karo, maka tak jarang orang-orang Karo juga kerap teropsesi akan hal-hal yang dapat mengangkat kehormatan, salah satu caranya adalah menjadi alat negara. Alat negara yang dimaksud disini adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
Menjadi anggota TNI yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara merupakan profesi yang dianggap sangat terhormat oleh orang Karo. Begitu pula menjadi anggota Polri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat turut dianggap sebagai salah satu profesi terhormat juga.
Karena kedua profesi ini dianggap memiliki 'nilai lebih' bagi sebagian besar masyarakat Karo, maka tak jarang pula, hal-hal yang bersinggungan dengan kedua institusi negara ini kerap menjadi perhatian luas, bahkan menjadi hal yang dianggap bersejarah.
Dalam keseharian masyarakat Karo sampai pada saat ini, setidaknya terdapat dua momen petinggi dari kedua alat negara ini minta maaf kepada orang Karo. Hal tersebut pernah ditulis oleh Pemerhati Muda asal Karo, Alexander Firdaus Sembiring.
Menurut pria yang juga banyak bergelut di bidang media ini, bahwa mengingat profesi sebagai anggota TNI dan anggota Polri sungguh begitu prestisius bagi kalangan masyarakat Karo, maka kedua momen ini sering menjadi pembicaraan sehari-hari, sehingga kemudian dianggap menjadi hal bersejarah.
Pertama adalah dalam aksi sweeping yang dilakukan para prajurit Batalyon Kavelri VI/Serbu, Medan yang mengelar "operasi dadakan" pada tahun 1996.
Kasus itu bermula dari kematian seorang prajurit Kavelri yang tewas ditikam oleh Adil Ablita Sembiring, seorang warga Padang Bulan Medan.
Prajurit Kavelri yang tidak terima kematian sesama rekannya, akhirnya menyasar keberadaan para preman yang biasa mangkal di sepanjang Jalan Djamin Ginting (Padang Bulan), Medan.
Rumah-rumah penduduk yang dicurigai dihuni preman dilabarak. Para pemuda yang dianggap preman pun turut menjadi korban. Mereka digebuk, ditendang. Kedai-kedai minum yang sering ditongkrongi preman turut ikut menjadi sasaran. Alahasil 12 pemuda cedera, 20 rumah penduduk rusak, dan beberapa mobil pecah kacanya.
Perlakuan anggota Kavelri memicu kemarahan para pemuda Padang Bulan. Esok harinya mereka berkerumun di pinggir jalan. Mereka menggelar unjuk rasa. Aksi itu didukung oleh puluhan orang yang khusus datang dari Tanah Karo. Kenderaan yang lewat menjadi sasaran lemparan batu. Mereka juga sempat mendatangi Markas Kavelri dan menyerang dengan batu.
Ketegangan itu akhirnya surut setelah Pangdam Bukit Barisan, Mayor Jenderal TNI Sedaryanto saat itu turun tangan. Ia mengunjungi Padang Bulan dan menemui para korban gara-gara ulah prajuritnya. Kepada warga setempat, Sedaryanto berjanji akan mengganti semua kerusakan yang timbul. Sebagai pimpinan tertinggi Pangdam Bukit Barisan, dia juga meminta maaf kepada warga.
Kedua adalah kasus antara warga Desa Lingga dengan Polres Karo pada tahun 2016. Penolakan warga Desa Lingga atas relokasi mandiri bagi para pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang direncanakan akan dibangun di desa mereka berujung tindakan represif dari aparat Polres Tanah Karo. Korban pun berjatuhan dari pihak warga.
Atas insiden memilukan yang dirasakan warga Desa Lingga, akhirnya mengundang simpati dari berbagai kalangan, salah satunya Arya Sinulingga yang memang masih memiliki ikatan darah dengan warga Desa Lingga. Dengan jaringan yang dimiliki Arya sebagai salah satu tokoh muda Sumatera Utara di Jakarta, akhirnya kasus ini berhasil dibawa ke Komnas HAM.
Tak berselang lama, Kapolres Tanah Karo AKBP Pangasian Sitio pun dicopot dari jabatannya. Bahkan perdamaian pun akhirnya terwujud antara warga Desa Lingga dengan pihak Polres Karo pada bulan Oktober 2016. Dalam aksi damai yang ditandai dengan acara adat Karo yang dinamai purpur sage tersebut, Wakapolda Sumut Brigjen Pol Drs Adhi Prawoto turut hadir.
Dalam acara adat purpur sage, Brigjen Pol Drs Adhi Prawoto mewakili pihak kepolisian dan Arya Sinulingga mewakili warga Desa Lingga saling bermafaan, yang menandakan bahwa persoalan antara warga Desa Lingga dan pihak Polres Tanah Karo pun telah usai.