Berikut ini makna tahun baru Islam 1 Muharram 1443 Hijriyah dalam tradisi Jawa yang wajib kamu tahu. Ternyata baik dalam tradisi Islam maupun tradisi Jawa makna 1 Muharram adalah sama yakni menandakan satu tahun baru.
Penasaran dengan makna lainnya? Berikut correcto coba sajikan lebih lanjut untuk Anda makna tahun baru Islam 1 Muharram dalam tradisi Jawa.
Baca juga: Tata Cara Doa Malam 1 Suro, Akhir dan Awal Tahun Baru Hijriah 1 Muharram 1443 H
Awal Tahun Baru
Tahun baru Islam 1 Muharram 1443 Hijriah dalam tradisi Jawa dimaknai sebagai awal tahun dalam kalender Jawa yang disebut dengan istilah 1 Suro. Ini merupakan tanggal dan hari pertama dalam kalender Jawa yang dicetuskan oleh Sultan Agung pada tahun 1633 hasil penyatuan dari penangalan Saka tradisi Hindu dengan penanggalan Hijriyah tradisi Islam.
Penggunaan istilah Suro juga ternyata merujuk pada satu peristiwa penting dalam sejarah Islam, yakni tanggal wafatnya cucu Nabi Muhammad, Sayyidina Husein yang terjadi pada 10 Muharram. Setelah ditelusuri ternyata istilah Suro merupakan resapan dari bahasa Arab dari kata Asyura yang berarti 10.
Bukan Sekedar Pergantian Tahun
Tahun baru Islam 1 Muharram yang dikenal dengan sebutan 1 Suro bagi masyarakat tradisional Jawa bukan sekedar pergantian tahun, namun lebih dari itu. 1 Muharram atau 1 Suro bagi masyarakat Jawa dimaknai sebagai hari untuk melakukan penghayatan, prihatin, religius dan penuh meditasi. Sebab itu tidak heran jika dalam tradisi Jawa 1 Muharram atau 1 Suro sangat kental degan tradisi-tradisi seperti puasa mutih hingga tapa bisu yang kental dengan nilai-nilai spiritual dan juga penghayatan hidup.
Baca juga: 5 Mitos dan Larangan Malam 1 Suro dalam Tradisi Jawa, Tahun Baru Islam 1 Muharram 1442 Hijriah
Hari Keramat
Merujuk pada beberapa sumber, 1 Muharram yang dikenal dengan sebutan 1 Suro merupakan hari keramat bagi masyarakat Jawa. Karena dianggap hari keramat maka 1 Suro kerap diisi dengan kegiatan yang lekat dengan kesan mistis seperti melakukan Puasa mutih, mandi di tengah malam, bermeditasi, mendatangi makam atau ke gunung untuk berziarah hingga bertapa, berjalan kaki sepanjang malam, bahkan mengelilingi tembok keraton merupakan hal yang biasa dilakukan.