Menteri Pendidikan dan Kebudayaan atau Mendikbud Nadiem Makarim melakukan manuver politik dengan cara melakukan kunjungan Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri hingga ke PBNU.
Nadiem Makarim yang digadang-gadang akan menjadi Mendikbud-Ristek pada reshuffle kabinet Jokowi ini beberapa hari yang lalu mengunjungi mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Dalam kesempatan itu, mantan bos Gojek itu mengaku hanya berdiskusi mengenai strategi terbaik untuk belajar dan bagaimana profil pelajar Pancasila.
Baca Juga: Mengenang Nuzulul Quran, Peristiwa Sejarah Turunnya Alquran yang Jarang Orang Tidak Tahu
"Ngobrol dua jam sama Bu Mega, diskusi strategi mempercepat Merdeka Belajar dan Profil Pelajar Pancasila," kata Nadiem Makarim dalam akun Instagramnya, @nadiemmakarim.
Respon Pengamat Politik
Seorang pengamat Politik dari Indonesia Political Review atau IPR Ujang Komarudin menuturkan, jika memang PDI Perjuangan ingin mengamankan posisi seorang Nadiem Makarim untuk menjadi Mendikbud-Ristek dalam reshuffle kabinet, secara politik sangat aman.
Ditambah, Nadiem Makarim yang kini berusia 36 tahun itu dinilai sangat cocok untuk mengisi jabatan tersebut karena merupakan sosok yang jauh dari kontroversi.
Tidak hanya itu, Nadiem Makarim rupanya juga mengunjungi Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siradj dan salah satu anak kandung dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur, Yenny Wahid.
Baca Juga: Menguak Alasan Polisi Tangkap Paksa Munarman FPI, Ternyata Ikut Baiat ISIS di Medan
Dalam kesempatan itu juga, lagi-lagi Nadiem Makarim mengaku hanya bersilaturahmi dengan kedua tokoh tersebut dan mengungkapkan betapa beruntungnya Indonesia mempunyai kedua tokoh yang mendamaikan dan penuh solusi. Terutama dalam polemik Kamus Sejarah Indonesia.
Respon PKB
Salah satu politikus Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB, Luqman Hakim mengatakan sangat menghargai silaturahmi yang dilakukan oleh Mendikbud Nadiem Makarim kepada Ketua PBNU Said Aqil Siradj. Terlebih, terdapat masalah yang dianggap penting yang harus diseledaikan. Yakni polemik Kamus Sejarah Indonesia yang menghapus Pendiri NU KH Hasyim Asyari dan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gusdur.