Bisakah kita tak menggunakan WhatsApp sehari saja? atau satu jam saja deh, bisa? Bisa kok, kan kita sudah terbiasa pakai DM Instagram atau Messenger (Facebook). Kita bersikukuh, gak ada WhatsApp bisa pindah ke Telegram atau Signal yang belakangan populer juga. Tapi tidak bisa kita pungkiri, WhatsApp adalah bagian inti dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sebegitu pentingnya WhatsApp hingga ketika melakukan pembaharuan terkini, bisa membuat gaduh seantero negeri yang bernama Indonesia.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sampai harus repot memanggil pihak WhatsApp/Facebook Asia Pasific pada Senin, 11 Januari 2021 lalu.
“Hari ini Kominfo memanggil pengelola WhatsApp & Facebook Asia Pacific Region untuk memberikan penjelasan lengkap. Setelah itu pemerintah akan menerapkan kebijakan lanjutan terkait itu,” ujar Menteri Kominfo, Johnny Plate (CNBC Indonesia)”
Menteri Kominfo tak lupa mengingatkan masyarakat untuk selalu bijak dalam memilih dan menentukan media sosial mana yang bisa memberikan perlindungan data pribadi atau privasi.
Lebih lanjut dari keterangan resmi usai bertemu perwakilan WhatsApp, hal ini (pemangilan) diperlukan agar masyarakat dapat terhindar dari dampak-dampak merugikan baik berupa penyalahgunaan atau penggunaan data pribadi yang tidak sesuai aturan (misuse or unlawful).
Baca Juga: Fakta Rencana Menkes Adakan Vaksin Mandiri, Hanya yang Punya Uang
Dalam notifikasi WhatsApp terbaru, terdapat beberapa hal terkait kebijakan privasi dan aturan pelayanan baru dimana pengguna wajib menyetujui jika ingin terus menggunakan layanan tersebut. Kebijakan terbaru WhatsApp ini berlaku per 8 Februari 2021. Berikut 7 poin yang menjadi kontroversi:
Dan seketika gempar, semua mata terbelalak ketika dihadapkan dengan kebijakan terbaru ini. Alhasil sebagian orang ingin pindah ke Telegram, Signal, Line, atau berbagai jenis aplikais Social Messaging, pun muncul beberapa klaim Indonesia punya aplikasi lokal, seperti Palapa.
Dikutip dari bisnis.com, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menyatakan bahwa keamanan data dan privasi pengguna adalah hal yang sangat penting dalam sebuah aplikasi pesan. Beliau mendorong Kemenkominfo membantu pengembang aplikasi pesna lokal sehingga bisa mendorong peralihan aplikasi milik luar negeri ke buatan dalam negeri.
“Meski kita sedikit terlambat. Harusnya lima tahunan lalu kita punya keberpihakan kembangkan pesan instan tapi Menkominfo saat itu kurang berpihak pada pemain lokal,” Heru Sutadi (Bisnis.com)
Saya sepakat, tidak adanya langkah nyata pemerintah terhadap aplikasi lokal terutama yang memiliki pengguna banyak kini menimbulkan masalah. Kita menjadi tergantung pada aplikasi luar negeri yang untuk “memanggil” mereka datang ke Kementerian terhormat saja kadang susah, mungkin masih ingat kasus Telegram tempo hari dimana Kominfo terpaksa memblokir aplikasi untuk “memaksa” aplikator menemui pemerintah Indonesia.
Bagaimana lantas kita ingin mengatur atau membuat regulasi sesuai dengan UU dan Peraturan yang berlaku di Republik ini?
Pentingnya percakapan dalam sebuah Social Messaging, semestinya bisa menjadi ‘cambukan’ bagi pemerintah untuk menyiapkan dari sekarang, sebuah terobosan dalam mendorong Kedaulatan Digital. Setinggi-tingginya enkripsi WhatsApp, jelas ada celah dimana percakapan dan akun para petinggi dan tokoh penting di negara ini dikelola oleh WhatsApp, sekaligus membagi data pribadi ke Facebook inc. (Perusahaan induk WhatsApp). Lalu nantinya WhatsApp akan bisa mengumpulkan data alamat IP dan informasi lain seperti kode area nomor ponsel meski pengguna tidak mengaktifkan fitur lokasi, padahal hal-hal ini jelas melanggar peraturan keamanan data dimana persetujuan pengguna diperlukan untuk melacak lokasi. Dan jika kita ingin menghapus akun WhatsApp, tunggu dulu… data kita tidak otomatis dihapus dari server WhatsApp…
Mau tau data apa saja yang akan dikumpulkan oleh WhatsApp? Data perangkat keras, level baterai, kekuatan sinyal, informasi browser, jaringan seluler, informasi koneksi, bahasa dan zona waktu, alamat IP, hingga informasi operasi perangkat.
Nah, jika sudah ribut-ribut barulah kita ini ‘ngeh‘ bahwa keamanan data pribadi dan privasi itu sangat penting. Kemana aja kita selama ini? mungkin kita lupa, atau memang malas membaca, peraturan Android, aplikasi seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan lain-lain… jelas setiap platform itu mengumpulkan data-data pribadi kita loh sebenarnya. Namun, kita sering ‘tidak sadar’ terhadap hal ini. Pertanyaan saya, apakah iklan di Instagram kita muncul tiba-tiba? dan kok cocok banget sama yang sedang kita ‘inginkan’, bahkan ada kawan saya lebih ektrem yang sedang berbincang face-to-face mengenai satu produk dengan pasangannya, dan tiba-tiba muncul iklan di Instagram dan Google tentang barang yang sedang ia obrolkan (dia tidak browsing sebelumnya). Amazing sekali…
Pertanyaan sederhana: Apakah kita, baca NEGARA kita, rela data pribadi dan privasi kita dikuasai oleh asing?
Sudah saatnya membangun, bukan lagi mencari kesalahan atau berdiskusi panjang lebar soal pro kontra, ayo kita berbicara langkah pasti. Kedaulatan Digital Republik Indonesia, kita mulai dengan mendorong aplikasi lokal yang menyinggung khalayak ramai atau dengan Active Users tinggi, sebut ia adalah Facebook, Instagram, TikTok, YouTube, WhatsApp, Telegram, Signal, Twitter, Snapchat, Google Search, Chrome, Gmail, Zoom, Muslim Pro, Netflix, HBO Go, InShot, ups… semuanya ternyata dari luar ya….
Baca Juga: Polisi akan Dalami Pelanggaran PPKM soal Pesta Artis
Bukan berarti kita mengesampingkan aplikasi keren semacam Gojek, Traveloka, Tokopedia, BukaLapak… tapi ini kita ingin menyampaikan kepada Pemerintah dan stakeholders digital di Indonesia. Apakah active users aplikasi terbesar di Indonesia adalah aplikasi lokal di bidang e-commerce, traveling atau e-banking? tidak, pengguna terbesar produk digital adalah Social Networking; social media, social messaging, blogging, micro-blogging, dan Produk Hiburan; Music, OTT, Gaming, Graphic, Video Editing.
Sejauh mana Indonesia serius untuk itu? bukan sekedar mencanangkan program 1000 Startup atau 1 juta Startup, tapi jika tidak jelas mengarah ke sebuah Kedaulatan Digital. Toh, program-program sejenis di masa lalu apakah menjadikan Indonesia lebih berdaulat secara Digital kini? Nyatanya: kita masih belum lepas dari WA, FB, IG, TikTok, dan lain-lain.
Atau kita sesungguhnya masih “merasa” berdaulat, tapi “Kedaulatan Digital nan Galau” untuk berdikari secara digital, begitu aplikasi luar “macam-macam” justru kita jadi merasa “terancam” lalu hanya bisa “mencak-mencak” sambil mengancam balik, tapi si aplikator cuek saja atau memenuhi sebagai atau membuat semuanya kembali menjadi bias, dengan tetap mengalirkan data pribadi kita ke pihak-pihak ketiga (luar) yang “beberapa” tidak bertanggungjawab.
Ingat skandal Facebook-Cambridge Analytica? 87 juta data pribadi di Facebook disalahgunakan oleh Cambridge Analytica, 1 juta data berasal dari Indonesia.
Atas skandal ini, Facebook setuju membayar denda sebesar USD 5 miliar atau setara Rp 70 triliun kepada Federal Trade Commision AS. Sanksi denda ini diberlakukan kepada sebagai hukuman atas kasus kebocoran data yang terjadi beberapa waktu lalu. Mengutip CNET pada 2019, angka tersebut merupakan denda terbesar yang pernah dijatuhkan FTC pada perusahaan teknologi. HANYA MENGINGATKAN…
Industry 4.0 yang digembar-gemborkan ingin menjadi untung. Namun pucuk dicinta, ulam tak tiba-tiba… buntung didapat. Ujung-ujungnya nanti, ya.. kita tetap menggunakan WhatsApp tercinta. Ayo pak Menteri, kita bisa, saya yakin kita bisa bersama-sama membangun ekosistem digital, yang memiliki visi Kedaulatan Digital.
Penulis
ADRIAN ZAKHARY, M.S.E
Inisiator Gerakan KDRI (Kedaulatan Digital Republik Indonesia)
Digital Transformation Expert
Alumni S2 Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia
#KedaulatanDigitalRI
Note: Jadi inget, jaman Blackberry (BBM)… berapa PIN lo? lalu beranjak ke WhatsApp… berapa WA lo? Kapan Indonesia punya Aplikasi Pesan sendiri, yang benar-benar layak, bukan sekedar menyandang gelar “lokal…” Yuk serius, yuk…