Data Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong menunjukkan output perekonomian kota yang terletak di bagian selatan China itu menyusut 9% (YoY) pada kuartal kedua tahun ini.
Hong Kong, sebuah kota seluas 1.100 kilometer persegi yang dihuni oleh hampir 8 juta orang itu kini jatuh ke dalam jurang resesi yang dalam. Sudah empat kuartal berturut-turut pusat keuangan Asia itu mengalami kontraksi ekonominya.
Pada kuartal pertama, pertumbuhan PDB Hong Kong minus. Dengan begitu, Hong Kong sah resesi karena dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonominya mengalami kontraksi 9%.
Kontraksi yang terjadi saat ini merupakan yang terparah sejak tahun 1974. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir resesi Hong Kong semakin parah. PDB kota bekas koloni Inggris itu pertama kali mengalami kontraksi pada kuartal ketiga tahun 2019.
Baca Juga: Hati-Hati, Indonesia Bisa Masuk Jurang Resesi Jika Ini Terjadi
Kontraksi dimulai ketika gelombang demonstrasi menolak aturan ekstradisi mulai terjadi di bulan Juni. Kondisi kota itu seketika berubah menjadi sangat mencekam. Bentrokan antara aparat dan sipil tak dapat dihindarkan. Fasilitas umum pun rusak.
Kisruh tersebut terjadi berbulan-bulan lamanya. Fenomena social unrest yang berlangsung lama ini membuat wisatawan yang berkunjung ke kota tersebut anjlok. Mengutip Japan Times, jumlah kunjungan wisatawan anjlok hingga 46% pada Oktober tahun lalu.
Sepinya kunjungan para wisatawan serta rusaknya fasilitas umum seperti stasiun membuat roda ekonomi Hong Kong tersendat. Penjualan ritel bahkan anjlok hingga lebih dari 24%. Angka pengangguran di kota tersebut naik ke 3,2% pada November dan menjadi yang tertinggi sejak 2017.
Pada kuartal ketiga dan keempat tahun lalu PDB Hong Kong menyusut masing-masing 2,8% dan 3% (yoy). Ini adalah kisah Hong Kong sebelum 'pagebluk' Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menghantam ekonomi global.
Mimpi buruk berlanjut, wabah yang berasal dari Wuhan, China mulai menyebar ke seluruh dunia termasuk Hong Kong. Lockdown yang masif membuat lebih dari tiga miliar penduduk bumi harus terkurung di dalam rumah.
Lockdown membuat aktivitas perekonomian seolah mati suri. Upaya untuk mengendalikan patogen berbahaya yang menyebar dengan cepat itu pada akhirnya memukul perekonomian dari dua sisi (double hit).
Disrupsi rantai pasok dan pelemahan permintaan adalah konsekuensi yang harus dialami banyak negara di dunia terutama yang menerapkan lockdown. Berbeda dengan China daratan yang melakukan karantina ketat, Hong Kong memilih untuk tidak menghancurkan perekonomiannya lebih lanjut.
Pengesahan UU Keamanan Nasional Hong Kong oleh Partai Komunis Tiongkok membuat publik global mempertanyakan otonomi yang dinikmati Hong Kong dengan satu negara dua sistem.
Ditempat lain, Pemerintah Jerman mengonfirmasi menagalami resesi. Negara ini kembali mencatat kontraksi pada ekonominya di kuartal-II 2020.
Baca Juga: Susul Singapura dan Korsel, Jerman Resmi Resesi
Dilansir dari Reuters pada Kamis, 30 Juli 2020, penurunan ekonomi Jerman hingga -10,1% diakibatkan penurunan konsumsi rumah tangga, investasi bisnis dan ekspor.
Indonesia menjadi salah satu negara yang mengalami ketidakpastian itu. Bahkan kini risiko resesi menjadi sangat tinggi.
Pada kuartal I-2020, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 2,97%. Meski menjadi catatan terendah sejak 2001, tetapi itu bisa dicapai kala negara-negara lain mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif). Bahkan China mengalai kontraksi sampai -6,8%.
Namun pada kuartal II-2020, sepertinya Indonesia sudah tidak bisa menghindar dari kontraksi. Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, memperkirakan ekonomi April-Juni akan terkontraksi dalam kisaran -3,5% hingga -5,1%.
Jika pada kuartal III-2020 kontraksi kembali terjadi, maka Indonesia secara sah dan meyakinkan akan masuk jurang resesi. Pemerintah memperkirakan ekonomi pada kuartal III-2020 berada di kisaran -1% hingga 1,2%. Kemungkinan kontraksi masih ada, sehingga risiko resesi tidak bisa dikesampingkan.
Sumber: CNBC