Pelaku Pelecehan Seksual Anak di Depok, Belum Ditangkap Karena Tidak Ada Bukti, Pentingkah RUU PKS Disahkan?

Pelaku Pelecehan Seksual Anak di Depok, Belum Ditangkap Karena Tidak Ada Bukti, Pentingkah RUU PKS Disahkan?

Ahmad
2020-07-15 14:40:55
Pelaku Pelecehan Seksual Anak di Depok, Belum Ditangkap Karena Tidak Ada Bukti, Pentingkah RUU PKS Disahkan?
Foto: Shutterstock

Jhon (bukan nama sebenarnya) merupakan seorang ayah dari anak korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum yang terjadi di sebuah gereja di daerah Depok, Jawa Barat.

Dia mengaku harus beberapa kali meninggalkan pekerjaannya sebagai sopir pengantar barang sejak beberapa bulan lalu. Ia harus mencari sejumlah alat bukti yang dibutuhkan kepolisian agar kasus pencabulan oleh SPM, bekas pengurus Gereja Santo Herkulanus Depok, Jawa Barat, terhadap anaknya pada Januari-Maret 2020 lalu dapat diproses polisi.

Ada jeda waktu yang membuat pencarian alat bukti kasus pencabulan yang terjadi di gereja itu kian sulit. Selang waktu itu yakni, antara pencabulan yang terakhir kali dialami anaknya pada 15 Maret 2020, dengan pengakuan si anak pada 22 Mei 2020.

Baca Juga: Mungkinkah Indonesia Masuk Jurang Resesi, Setelah Singapura Resesi Hingga Minus Puluhan Persen

Rentang waktu dua bulan, ditambah pengosongan gereja akibat pandemi Covid-19, membuat korban harus memutar otak ekstrakeras mencari alat bukti. Tanpa alat bukti, mustahil mengirim SPM ke sel tahanan.

Dilansir dari Kompas.com, Rabu 15 Juli 2020, tim investigasi internal gereja termasuk kuasa hukum dan pastor paroki bersepakat mengundang SPM ke sebuah forum di Ciawi, Bogor, 6 Juni 2020 lalu. Saat itu, SPM sudah dilaporkan ke polisi namun belum ditangkap karena minim alat bukti. SPM baru ditangkap 14 Juni 2020. 

Di Ciawi, SPM diminta membeberkan semua pencabulan yang ia lakukan. Pengakuan SPM, yang kelak akan menjadi tersangka, akhirnya dijadikan barang bukti untuk polisi.

Tak semua kasus kekerasan seksual meninggalkan jejak. Kekerasan seksual tak selamanya berakhir dengan penetrasi. Tak selalu kasus kekerasan seksual dapat dibuktikan dengan visum.

Kuasa hukum korban, Azas Tigor Nainggolan mengutarakan hal senada. Menurut dia, negara belum berpihak pada korban kekerasan seksual, baik melalui aparat penegak hukum yang kurang berkomitmen maupun sistem peradilan yang tidak ramah korban.

Sebetulnya, sistem pembuktian yang kurang ramah korban ini coba dibenahi melalui Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang tempo hari justru dikeluarkan DPR dari program legislasi nasional (Prolegnas) 2020. RUU PKS belum akan lanjut digodok karena sejak diusulkan pada 2016  lalu, pembahasannya berlarut-larut dan diprediksi tak akan rampung juga pada Oktober mendatang. 

Dalam draf RUU PKS, proses pembuktian dalam kasus kekerasan seksual jauh lebih mudah. Pertama, dan ini krusial, keterangan korban dapat menjadi alat bukti.

"Keterangan seorang Korban sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya," demikian bunyi Pasal 45 ayat 1 RUU PKS sebagaimana dikutip dari draf RUU PKS di situs resmi DPR.

Dalam draf itu, keterangan korban yang masih berusia anak-anak juga berkekuatan hukum untuk menjadi alat bukti kasus kekerasan seksual. Dalam kasus pencabulan di Gereja Herkulanus, pengakuan demi pengakuan anak Guntur harusnya cukup menjadi alat bukti.

Di luar itu, jenis barang yang dapat dijadikan alat bukti kasus kekerasan seksual juga makin luas. Alhasil, gerak korban dan polisi bisa semakin leluasa dalam mencari alat bukti. Sekarang, Undang-Undang KUHAP yang jadi rujukan hanya mengizinkan lima jenis alat bukti dalam sidang pengadilan pidana, termasuk kekerasan seksual, yakni keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Baca Juga: Video Hana Hanifah Pamer Barang, Bisa Sambil Minum Alkohol Juga

Dalam RUU PKS, selain keterangan korban kekerasan seksual, alat bukti dapat mencakup surat keterangan psikolog/psikiater, rekam medis, rekaman pemeriksaan selama penyidikan, informasi elektronik, hingga dokumen dan pemeriksaan rekening bank.

Tambahan jenis alat bukti kekerasan seksual yang diakomodasi dalam RUU PKS didesain untuk memperbesar peluang korban kekerasan seksual untuk memperoleh keadilan dari segi pemenuhan syarat pembuktian.

Pembahasan RUU PKS dipangkas di tengah jalan.Jhon, anaknya, dan tim investigasi internal gereja harus berjibaku mencari alat bukti yang “untungnya” dapat ditemukan dan berhasil membuat SPM ditangkap polisi.

Namun, masih ada 21 anak lain yang juga korban pencabulan oleh SPM hingga hari ini. Mereka dan tim investigasi internal gereja masih berupaya melengkapi alat bukti, karena sistem peradilan yang tak berpihak pada korban kekerasan seksual.

Padahal, jika RUU PKS sudah disahkan, kasus ini akan lebih cepat terungkap dan minim dampak negatif bagi kondisi psikis korban. Pasalnya, SPM sudah mengakui pencabulan yang ia lakukan (alat bukti satu) dan keterangan anak-anak yang menjadi korbannya melimpah (alat bukti dua). 


Sumber: Kompas.com


Share :