Gadis asal Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur minyampan mitos yakni gadis yang tidak setia terhadap pasangan. Bila melihat dari cerita legenda Sri Tanjung justru bertolak belakang.
Nama Banyuwangi sendiri erat kaitannya dengan cerita Sri Tanjung yang menceritakan kesetiaan istri kepada suami. Legenda ini banyak dibawakan dalam kesenian dan budaya lokal. Salah satunya tari-tarian.
Baca Juga: Selain Menyimpan Kisah Mistis, Watu Dodol di Banyuwangi ini juga Menyimpan Legenda, Begini Ceritanya
Bangunan Rumah Masa Kerajaan Majapahit Ditemukan di Mojokerto, Diselimuti Cerita Mistis
Serem! 2 Patung di Indonesia ini Dipercaya Bisa Menari
Dikutip dari berbagai sumber, konon dahulu di wilayah ujung Timur Pulau Jawa itu dipimpin seorang raja bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahan, ia dibantu patih bernama Sidopekso.
Patih Sidopekso memiliki istri bernama Sri Tanjung. Kecantikan, kehalusan budi dan tutur kata Sri Tanjung, membuat sang raja tergila-gila. Demi membujuk dan merayu Sri Tanjung, maka muncullah akal licik. Sang raja memerintahkan Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai manusia biasa.
Dengan tegas dan gagah berani sekaligus tanpa curiga, Sidopekso berangkat menjalankan titah raja. Sepeninggal Patih Sidopekso, Raja Sulahkromo memanfaatkannya untuk merayu dan memfitnah Sri Tanjung.
Namun cinta sang raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pada pendiriannya. Sebagai istri, dia juga selalu berdoa untuk suami. Sementara sang raja berang karena cintanya ditolak Sri Tanjung.
Ketika kembali dari misi tugasnya, Patih Sidopekso langsung menghadap sang raja. Akal busuk sang raja kembali muncul. Dia mengatakan bahwa Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan dirinya.
Tanpa berpikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan tidak beralasan. Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur tak mampu meredam amarah Patih Sidopekso. Bahkan sang patih mengancam akan membunuh istri setianya itu.
Lalu diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Sebelum dibunuh, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya. Sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiaan, Sri Tanjung rela dibunuh. Tapi dia minta jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh. Apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk, maka dia telah berbuat serong. Sebaliknya jika air sungai justru berbau harum, maka ia suci dan tidak bersalah.
Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri. Dia segera menghujamkan keris ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat istrinya segera diceburkan ke sungai. Ajaibnya, sungai yang keruh berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan jadi linglung. Tanpa disadari, ia menjerit “Banyu..,wangi..,Banyu..,wangi..!”
Baca Juga:
Kisah Nyata! Inilah Pengakuan 10 Orang yang Pernah Mengalami Mati Suri
Tradisi Bakar Batu: Cara Masyarakat Papua Bersilaturahmi
Kisah tersebut dibenarkan sesepuh Suku Osing Sanosik Marhedi. Ia sekaligus menepis mitos perempuan Banyuwangi tidak setia kepada pasangan. “Sri Tanjung akhirnya diseret, mau dibunuh. Karena kesetiaannya, akhirnya berjanji. Boleh patih membinasakan saya (Sri Tanjung). Tapi ada janji. Apabila darah saya basi (bau, red), itu pertanda tidak setia. Ternyata Sri Tanjung setelah darahnya bersimbah di tanah, baunya wangi,” ujar Sanosik warga Desa Dukuh, Kecamatan Glagah, Banyuwangi.
Sumber: bbstv.id