Air Mata Putri Tinambun Berdarah Putih di Sumut, Objek Wisata bersejarah yang Jarang Diketahui

Air Mata Putri Tinambun Berdarah Putih di Sumut, Objek Wisata bersejarah yang Jarang Diketahui

Ekel Suranta Sembiring
2020-06-21 13:05:23
Air Mata Putri Tinambun Berdarah Putih di Sumut, Objek Wisata bersejarah yang Jarang Diketahui
Air Mata Putri Tinambun (foto: Tribun Medan)

Di Delleng Simpon (Gunung Simpon), tepatnya di atas pegunungan Desa Sionom Hudon Julu, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang berbatasan dengan Kecamatan Sitali Urang Julu, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumut terdapat sebuah objek wisata bersejarah bernama eluh (air mata) boru (putri) Tinambunan.

Kini objek wisata ini disepakati menjadi milik bersama kedua kabupaten bertetangga tersebut seiring dengan dilakukannya pendirian pilar tapal batas bagi kedua kabupaten itu.

Kisah eluh (air mata) ini dinyatakan nyata khusunya bagi para keturunan Simbolon tuan yang memiliki anak 7 di antaranya:

Baca Juga: Air Tujuh Rasa di Samosir, Dipercaya Dapat Menyembukah Berbagai Penyakit, ini Sejarah Asal Usulnya

1. Simbuyakbuyak (pergi tanpa meninggalkan jejak karena tidak bertulang) 

2. Tinambunan

3. Tumanggor

4. Maharaja

5. Pinayungan

6. Turuten

7. Nahampun

Ke tujuh anaknya yang awalnya dulu dilahirkan di Sionom Hudon, Kabupaten Humbang Hasundutan itu percaya bahwa terdapat bagian peninggalan dari kisah pernikahan yang berujung tragis.

Dahulu, tepatnya di Desa Sionom Hudon, sepasang suami istri memiliki seorang putri nan cantik dan menawan, yakni boru Tinambunan.

Boru Tinambunan ini memiliki darah putih.  Kecantikan yang dimilikinya pun tersebar ke seluruh penjuru desa sekitarnya hingga ke Pakpak Bharat.

Banyak lelaki yang sangat terpikat akan kecantikannya, namun si boru Tinambunan tetap menolak pinangan sejumlah lelaki dari berbagai penjuru desa tetangga.

Suatu hari, seorang pemuda dari keluarga raja yang kaya raya bermarga Berutu dari Pakpak Bharat datang meminang si boru Tinambunan.

Tanpa basa basi, si boru Tinambunan langsung menolak pinangan si Berutu. Si Berutu tidak langsung menyerah, ia kembali berusaha mencari celah bagaimana harus mendapatkan putri cantik rebutan pemuda desa tersebut.

Si berutu menantang si boru Tinambunan untuk berbalas pantun. Dengan perjanjian, jika si boru Tinambunan kalah, maka ia harus bersedia menjadi istrinya.

Tantangan tersebut diterima si boru Tinambunan, sebab ia pintar berbalas pantun (dalam bahasa batak disebut Marhuling-huling assa).

Saat pertarungan itu, keduanya silih berganti melontarkan pantun dan saling menjawab satu sama lain. Dan tidak ada yang mau menyerah. Akibatnya, saat pertarungan adu ketangkasan pantun itu, tidak ada yang kalah dan yang menang.

Usai pertarungan itu, si boru Tinambunan mengungkapkan kepada si Berutu, bahwa dirinya telah menaruh cintanya kepada seorang pemuda miskin yang baik hati di desanya. Siapa pemuda itu? Ia adalah Pariban kandungnya sendiri (anak dari adik perempuan bapaknya {Tinambunan} ).

Namun si Berutu tetap ngotot untuk meminangnya. Trik lain pun dilakukan si Berutu. Diam-diam, ia menemui ayah si putri Tinambunan cantik itu.

Kepada sang ayah, si Berutu langsung mengungkapkan niatnya untuk meminang putrinya. Awalnya, ayah si boru Tinambunan masih menolak. Namun, si Berutu rupanya telah memiliki senjata ampuh untuk meluluhkan hati ayah si boru Tinambunan.

Kepada sang ayah, si Berutu menawarkan satu hamparan tanah luas yang dipenuhi kerbau di atasnya ditambah 24 bakul emas, jika bersedia merestui pinangannya. Jika diterima, apakah persetujuan sang ayah diyakni akan langsung diterima putrinya?

Sang ayah Tinambunan tidak yakin. Akibatnya, sang ayah dan si Berutu diam-diam membuat trik. Si anak Raja Berutu menggelar acara pesta besar-besaran di Desa Sionom Hudon selama tujuh hari tujuh malam.

Mereka memotong seekor kerbau setiap harinya. Sebelum acara pesta, si Berutu menemui si boru Tinambunan. Ia menantang si boru Tinambunan untuk melayani para tamu selama tujuh hari tujuh malam.

Dengan perjanjian, jika anak si Berutu tidak mampu menyediakan kebutuhan pesta itu selama tujuh hari tujuh malam, maka ia akan mundur untuk meminangnya. Sebaliknya, jika si boru Tinambunan tidak mampu melayani para tamu selama tujuh hari tujuh malam, maka ia harus bersedia menjadi istrinya.

Acara pesta pun dimulai, hari pertama hingga hari kelima, si boru Tinambunan masih tahan untuk melayani kehadiran para tamu. Namun di hari ke-6, ia pun mulai kelelahan. Akibat kelelahan, ia pun beristirahat dan tertidur di dalam sebuah rumah panggung bertiang kayu.

Saat itu, si Berutu dengan sejumlah pengikutnya pun, langsung memotong tiang rumah tersebut dan mengangkut secara bersama sama rumah itu ke kampung halamannya di Desa Ulu Merah (saat ini masuk ke Kecamatan Sitali Urung Julu, Kabupaten Pakpak Bharat).

Dengan menelusuri hutan belantara dan mendaki gunung dari akar-akar kayu hingga malam hari, si Boru Tinambunan masih tertidur pulas.

Namun, menjelang dini hari, saat tiba di Delleng Simpon (Gunung Simpolon)---kini jadi perbatasan Kabupaten Pakpak Bharat dengan Kabupaten Humbanghasundutan---si boru Tinambunan pun terbangun.

Saat dirinya tengah terbangun, ia sadar bahwa telah dibawa oleh pemuda si Berutu. Kepada si Berutu, boru Tinambunan pun meminta agar berhenti sejenak di Gunung Simpon itu. Pemuda si Berutu pun menyetujui untuk beristirahat sejenak.

Saat itulah, si Boru Tinambunan duduk di tanah dan terus menangis sambil mengorek-ngorek tanah pakai kayu kecil.  Saat menangis, air matanya pun menetes ke lubang kecil yang dikorek-koreknya tersebut. 

Baca Juga: Lompat Batu dari Suku Nias, Begini Cara Berlatih dan Tujuannya Bagi Para Pemuda Nias

Dalam tangisannya, ia mengaku telah mengkhianati cintanya kepada paribannya. Bagaimana tidak, ternyata, ia dengan paribannya sebelumnya telah sama sama bersumpah untuk sehidup semati.

Walau mendengar ungkapan hati si boru Tinambunan, si Berutu tetap bersikukuh dan melanjutkan perjalanan menuju ke rumahnya. Saat tiba di Desa Ulu Merah kampung si Berutu, kedua orangtuanya langsung menyambut rombongan anaknya. Si boru Tinambunan pun dikeluarkan dari rumah panggung yang mereka angkat bersama-sama saat dia tertidur pulas.

Kedua orangtua si Berutu pun menyiapkan beras di dalam sebuah bakul (dalam adat Batak, kedua anak yang membawa calon istri ke rumah orangtuanya harus disambut dengan menaruh beras di atas kepada keduanya sebelum memasuki rumah).

Si boru Tinambunan pun digendeng si Berutu memasuki rumahnya. Dengan berat hati, si boru Tinambunan melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga demi tangga rumah orangtua si Berutu. Maklum, rumah orangtua si Berutu bertingkat tujuh.

Tak disangka-sangka, di tangga ke-6, si boru Tinambunan terjatuh hingga ke tanah dan jatuh pingsan tak sadarkan diri. Setelah diberi pertolongan, si boru Tinambunan tak kunjung sadar, hingga pada akhirnya ia pun menghembuskan nafas terakhirnya.

Akhirnya, Si Berutu pun hanya bisa menggerutu untuk meratapi nasibnya. Kemudian keluarganya langsung memberitahukan kabar duka tersebut ke kepada orangtua si boru Tinambunan. Mendapat kabar tersebut, orangtua dan keluarga si boru Tinambunan langsung menjemput jasad putrinya.

Saat membawa boru Tinambunan dalam keadaan pulas, ternyata ada juga satu boru Tumanggor yang menemani sang kakaknya. Si boru Tumanggor pun ikut meratapi kepergian kakaknya.  Bahkan kolam air mata boru Tumanggor ini juga ada di bawah kolam air mata boru Tinambunan.

20 Tahun lalu, kolam kecil air mata boru Tinambunan ini pernah kering. Namun salah seorang warga, E Tumanggor, yang tinggal di Kampung Batugajah, Desa Sionom Hudon Julu, bermimpi dia pergi ke Gunung Jagar.

Gunung jagar terletak di arah Pakkat menuju Manduamas, Tapanuli Tengah. Dalam mimpinya, dia mengajak boru Tinambunan ke Gunung Simpon. Kala itu Desa Sionom Hudon Julu musim kemarau berkepanjangan.

Keseharian E Tumanggor, sering pergi ke Pakpak Bharat untuk berjualan beras. Saat memikul beras tepat melintasi kolam kering air mata boru Tinambunan, E Tumanggor kelelahan dan kehausan. 

Ia pun mengambil cangkul dari gubuk marga Hasugian yang ada di hutan tersebut.  Saat dia menancapakan cangkulnya, muncul 2 lebah mirip tawon. Kedua lebah tersebut langsung masuk ke kolam yang kering itu dan tertancap cangkulnya.

Esok harinya, saat E Tumanggor melintas lagi dengan memikul beras jualannya, ia pun mendapati kolam yang dicangkulnya langsung berisi air.  Hingg saat ini, kolam kecil tersebut pun tidak pernah kering lagi. Bahkan, sudah disemen keliling dengan sedemikian rupa oleh Pemkab Pakpak Bharat.

Sumber: Tribun Medan


Share :

HEADLINE  

Kaesang Optimis PSI Tembus Senayan Minta Kader Kawal Real Count

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 17, 2024 09:44:02


Hasil Real Count KPU Sulawesi Tengah: Suara PSI Tembus 4,17%

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 21:11:41


Pemuka Agama Himbau Semua Terima Hasil Pemilu, Saatnya Rekonsiliasi

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 13:44:30