Kala Tumbilotohe sampai pada masanya, maka kamu akan melihat keindahan yang luar biasa di Sulawesi ini. Sebab, kamu akan menemukan hamparan cahaya kuning di setiap jalanan atau kawasan perumahan. Menerangi tiap insan dan samar-samar mengalahkan kelamnya malam.
Tumbilotohe adalah perayaan berupa memasang lampu di halaman rumah-rumah penduduk dan di jalan-jalan terutama jalan menuju masjid yang menandakan berakhirnya Ramadan di Gorontalo.
Perayaan ini dilakukan pada 3 malam terakhir menjelang hari raya Idul Fitri. Pemasangan lampu dimulai sejak waktu magrib sampai menjelang subuh.
Tradisi ini diperkirakan sudah berlangsung sejak abad ke-15. Ketika itu penerangan masih berupa wango-wango, yaitu alat penerangan yang terbuat dari wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan, kemudian dibakar.
Lampu yang berbahan bakar getah damar biasanya akan mengeluarkan wangi yang berbeda, dibanding lampu lainnya. Sayang, getah damar mulai jarang digunakan karena untuk mendapatkannya, penduduk mesti menadahnya langsung di hutan.
Masyarakat Gorontalo percaya bahwa dengan melakukan tradisi Tumbilotohe, mereka bisa mendapatkan berkah Lailatul Qadar. Merayakan lampu dalam tradisi Tumbilotohe juga dianggap menyimbolkan kesiapan manusia menyambut Idul Fitri. Bahwa manusia telah memiliki jiwa dan hati yang bukan hanya bersih, tetapi juga terang.
Oleh sebab itu, masyarakat biasanya akan melakukan tradisi ini secara sukarela. Mereka akan membeli atau membuat sendiri lampunya dan menyediakan minyak tanah tanpa meminta subsidi dari pemerintah.
Pada masa lampau, tradisi Tumbilotohe dilakukan untuk memudahkan penduduk setempat ketika ingin memberikan zakat fitrah pada malam hari, baik ke masjid atau tetangga sekitar seusai salat tarawih. Ditambah lagi dengan festival bedug dan hadirnya meriam bambu membuat tradisi ini kian semarak.