World Health Organization (WHO) mengecam konsep herd immunity sebagai obat mengatasi virus corona Covid-19. Lembaga kesehatan ini menyebut konsep ini berbahaya.
"Manusia bukan herds (kumpulan ternak)," kata Direktur Eksekutif Program Kesehatan WHO, Dr Mike Ryan, sebagaimana dikutip dari The Guardian, Senin 18 Mei 2020.
Herd immunity adalah konsep herd immunity didasarkan pada pandangan bahwa herd immunity terbentuk jika mayoritas populasi, biasanya 70%-80% menjadi kebal terhadap penyakit. Ketika kekebalan ini terbentuk penyebaran virus corona bukan lagi ancaman.
Kekebalan ini terbentuk setelah seseorang terinfeksi dan sembuh atau melalui vaksinasi.
Dalam kondisi sekarang ini muncul anggapan untuk membentuk herd immunity dengan membiarkan virus ini menyebar pada sebagian besar populasi. Apalagi hingga sekarang belum ditemukan vaksin corona.
Namun, pemikiran ini bisa bermasalah. Saat ini saja rumah sakit dan tenaga kesehatan sudah kewalahan menghadapi banyaknya pasien positif corona. Bila herd immunity dijalankan makin banyak pasien corona yang tidak bisa ditangani dengan baik oleh rumah sakit.
Selain itu, belum ada bukti yang menyatakan bagaimana imun tubuh bekerja dalam menghadapi virus corona.
Kekebalan kelompok dari infeksi alami berisiko menimbulkan sakit parah bahkan kematian. American Heart Association bahkan mengatakan pemulihan infeksinya memakan waktu lama hingga hitungan bulan bahkan tahunan. Bayangkan berapa banyak negara harus menanggung kerugian dengan menempuh cara ini.
Sebaliknya vaksin meminimalisir risiko tersebut karena patogen telah dilemahkan, diuji coba, dan terjamin aman. Dengan vaksinasi, penyebaran infeksi kepada kelompok berisiko bisa ditekan dengan memilih kelompok kuat untuk dijadikan populasi kebal. Namun perlakuan ini nampaknya belum bisa diterapkan untuk kasus COVID-19 karena vaksinnya belum ditemukan.
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk lansia di Indonesia berkisar 10 persen. Dengan asumsi tersebut pemodelan kelompok rentan yang harus mendapat penanganan khusus mencapai 18,2 juta jiwa. Jumlah tersebut belum ditambah kelompom rentan lainnya yang memiliki penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, kanker, HIV, dll. Sementara jika dihitung dari persentase kematian akibat COVID-19 sebesar 8,9 persen, maka Indonesia akan kehilangan sekitar 16 juta jiwa dari total 182 juta jiwa yang terinfeksi.
Jika diasumsikan serupa wabah flu spanyol yang datang dalam tiga gelombang, maka tiap gelombang COVID-19 bisa memakan korban meninggal lebih dari 5 juta orang. Tentu kita tak mau statistik tersebut menjadi kenyataan.
Dari sudut pandang epidemiologis, tingkat infeksi COVID-19 harus diturunkan setara flu, sekitar 1,3 orang.
Langkahnya dilakukan dengan menciptakan jarak interaksi dan mengurangi kontak sehingga jumlah orang yang terinfeksi bisa ditekan.
Pola interaksi semacam ini harus terus dipertahankan sampai wabah usai atau vaksin ditemukan. Ketika saat itu tiba kita bisa merayakannya dengan kembali bekerja, bertemu keluarga, atau sekadar nongkrong bersama teman.