Suku Karo selain dikenal kental dengan adat-istiadat, juga punya atraksi seni yang unik, yakni tarian Gundala-gundala. Tari ini tidak sekadar sebuah atraksi kesenian, Gundala-gundala juga memiliki fungsi lain, yakni memanggil hujan. Dalam bahasa Karo disebut “ndilo wari udan".
Hingga kini, tradisi memanggil hujan dengan menampilkan atraksi Gundala-gundala pada masyarakat Karo masih terus dilakukan di sejumlah desa. Antara lain di Desa Siberaya, Lingga dan Dokan. Masyarakat akan menampilkan tarian ini, terutama pada saat musim kemarau datang berkepanjangan seperti yang berlangsung sekarang ini.
Tarian Gundala-gundala sendiri tidak lepas dari sebuah cerita rakyat yang melatarbelakangi kelahirannya. Menurut legenda itu, dikisahkan pada zaman duhulu ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja bernama Sibayak.
Suatu hari ketika raja sedang berburu di tengah hutan yang lebat, ia melihat seekor burung raksasa. Burung tersebut merupakan jelmaan dari petapa sakti yang bernama Gurda-gurdi. Raja Sibayak itu sangat tertarik dengan sosok burung itu. Selain menawan, burung itu juga sangat sakti. Ia pun kemudian membawa pulang Gurda-gurdi dan menjadikannya sebagai penjaga putrinya.
Kekuatan Gurda-gurdi terletak pada paruhnya. Oleh sebab itu ada larangan yang menyatakan bahwa ekornya tidak boleh disentuh oleh siapapun. Namun pada suatu ketika ekor tersebut tersentuh secara tak sengala oleh sang putri. Gurda-gurdi pun menjadi marah dan memberontak. Ia memporak-porandakan kerajaan dan menyerang penghuninya. Juga menyerang sang putri.
Melihat kejadian itu, Raja Sibayak menyuruh pasukannya untuk menyerang Gurda-gurdi. Hingga akhirnya Gurda-gurdi itu pun meninggal.
Hal ini membuat masyarakat bersedih dan merasa kehilangan sosok Gurda-gurdi yang telah banyak berjasa terhadap keamaan kerajaan. Selain itu, Gurda-gurdi juga dikenal ramah, suka menolong dan suka bermain dengan anak-anak. Sejak kehadirannya di istana itu, seluruh penghuni istana menjadi lebih ceria hidupnya.
Kesedihan semakin mendalam, karena sesungguhnya ini semua terjadi hanya karena kesalahpahaman saja. Ekor Gurda-gurdi adalah pusat kekuatannya. Ketika tersentuh manusia, dengan sendirinya kekuatannya akan muncul dan menyerang siapa saja di hadapannya.
Semua penghuni kerajaan dan masyarakat menangis hingga turun hujan. Seolah menandakan bahwa langit pun ikut berduka atas kepergian Gurda-gurdi. Sejak itulah lahir tarian Gundala-gundala.
Dikutip dari medanbisnisdaily.com, seorang budayawan Karo bernama Jaya Ginting menuturkan Gundala-gundala merupakan ekspresi rasa sedih masyarakat. Kesedihan itu disimbolkan sebagai hujan yang turun ke bumi. Itulah dasar mengapa ketika musim kemarau berkepanjangan datang, masyarakat Karo akan menggelar tarian Gundala-Gundala.
Mereka tentu sedih, karena kemarau yang berkepanjangan itu pasti membuat ladang mereka akan gagal panen. Kesedihan itu mereka ungkapkan dengan tarian. Sekaligus lewat tarian itu mereka berharap hujan turun dan menyuburkan kembali ladang mereka, katanya.
“Itulah nilai-nilainya. Makanya kalau kita lihat ekspresi topeng pada Gunda-gundala, yang terlihat kesedihan. Itu adalah ungkapan batin masyarakat. Mungkin karena itu Pesta Buah dan Bunga di Berastagi yang kemarin tak meriah. Soalnya ditampilkan Gundala-gundala yangmenyimbokan sedih itu,” kata Jaya.