Virus corona atau Covid-19 mengharuskan
anda bekerja di rumah, hingga membatasi diri dalam interaksi sosial serta terus
berada di dalam rumah. Bahkan, orang-orang rela berjemur di bawah sinar
matahari agar membantu tubuh mencegah virus corona.
Sebagian orang menganggap
berjemur yang lebih baik, dilakukan pada pukul 10.00 hingga 15.00 siang. Akan
tetapi, bukankah sinar UV dikatakan paling baik justru di pagi hari? Mana yang
benar?
Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin dr. Jonathan R. Subekti, SpKK dari Klinik Bamed menjelaskan segala
sesuatu yang berlebihan tentu tidak baik, termasuk berjemur. Akan tetapi
sebetulnya, efektivitas kaitan antara berjemur dan membunuh virus belum ada
penelitiannya.
“Berdasarkan sepengetahuan saya,
belum ada penelitiannya bahwa berjemur bisa membunuh virus. Karena sangat
tergantung dari durasi dan intensitas matahari,” jelasnya, Kamis 2 April 2020.
Berdasarkan penelitian, tak
masalah jika berjemur di waktu pagi hari ataupun siang hari. Namun, yang perlu
diperhatikan adalah durasinya.
“Dua-duanyanya tidak salah (pagi
atau siang). Hanya durasinya saja yang harus benar,” ucapnya.
Pukul 7-10 pagi karena intensitas
UV-nya rendah harus lebih lama yaitu sekitar 1 jam. Sedangkan di atas jam 10
karena intensitas UV-nya tinggi, cukup 15 menit saja.
“Disesuaikan saja sesuai
kebutuhan dan kemampuan bangun pagi,” katanya.
Baik bayi hingga lansia, dianjurkan
untuk berjemur, namun durasinya berbeda-beda.
“Tentu saja bayi dan lansia
membutuhkan durasi berjemur yang lebih pendek, karena struktur kulitnya berbeda
dengan orang dewasa muda,” jelasnya.
Selama ini belum ada penelitian yang
mengatakan jika berjemur di bawah sinar matahari dapat membunuh virus, lalu apa
hubungannya dengan pencegahan virus corona?
Diketahui, sistem imun tubuh yang
bagus akan lebih kuat menangkal virus-virus dari luar, termasuk virus corona.
Menurut para ahli sistem imun
dapat meningkat jika berjemur di bawah sinar matahari. Sebab, vitamin D
meningkat jika terkena sinar matahari.
“Kita semua tahu sinar matahari
menyediakan vitamin D, yang diduga berdampak pada kekebalan, antara lainnya
itu,” ujar Profesor Gerard Ahern, yang memimpin penelitian di Universitas
Georgetown di Washington DC.