Terkait Rancangan Undang Undang
Omnibus Law, Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai pemerintah hanya
berfokus menaikkan investasi melalui omnibus law Rancangan Undang-undang atau
RUU Cipta Kerja. Selain itu, Bivitri juga mengkritik sikap pemerintah yang
cenderung meminggirkan hal-hal yang bersifat mendasar seperti HAM, lingkungan
dan pemberantasan korupsi.
"RUU Cipta Kerja ini kuat
sekali untuk menguatkan investasi sehingga meminggirkan soal-soal yang mendasar,"
kata Bivitri, Sabtu, 22 Februari 2020.
Bivitri mengatakan, jika hal
seperti ini hanya akan membuat Indonesia ibarat dibangun di atas pondasi yang
rapuh. Ia pun menyebut tak menutup kemungkinan akan terjadi krisis politik dan
ekonomi seperti pada 1998.
"Jangan kaget kalau kita mau
iya-iya saja terhadap apa yang sekarang disodorkan (omnibus law Cipta Kerja),
jangan kaget kalau nanti krisis besar yang bisa berujung pada krisis politik
seperti 98 itu terjadi lagi," kata Bivitri.
Menurut Bivitri, ketika orde baru
pemerintahan Soeharto mengesampingkan tata kelola pemerintahan yang baik demi
pembangunan. Tindak korupsi pun dibiarkan oleh presiden.
Menurut Bivitri, pemerintah saat
ini cenderung berpikir ke arah sana, terlihat menguatnya kekuasaan di sekitar
presiden.
Bivitri juga menyinggung Pasal
166 dan 170 dalam draf RUU Cipta Kerja yang terkesan ingin melakukan pemusatan
kekuasaan ke pemerintah pusat. Bivitri menganggap Pasal itu berbahaya karena
ingin mengatur bahwa peraturan daerah bisa diubah melalui peraturan presiden
(perpres) dan UU melalui peraturan pemerintah (PP).
Bivitri juga menambahkan terkait pelemahan
Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilakukan Presiden Joko Widodo dan
partai-partai pendukungnya. Cara pikir pemerintah saat ini, kata Bivitri,
cenderung mengesampingkan pemberantasan korupsi karena dianggap mengganggu
investasi.
"Saya bukannya
menakut-nakuti, tapi buat saya kalau kita sudah punya pengalaman sejarah ada
karakteristik yang bisa kita catat, ya jangan diulang lagi sekarang melalui RUU
Cipta Kerja," kata Bivitri.