Biasanya setiap mendengar pemakaman, pada umumnya kental dengan kesan seram, kesan ini sangat jauh terasa saat menyambangi Kambira di Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Dikenal sebagai pemakaman bayi atau Passiliran, Kambira menawarkan sebuah pemandangan yang jauh berbeda.
Mendengar kata pemakaman, otakmu mungkin akan dengan mudahnya mengingat deretan batu nisan, pohon bunga kamboja, atau sosok-sosok astral. Namun, saat berada di Kambira, hal pertama yang muncul dalam otak kamu bukanlah rasa ngeri, tapi tenang dan sejuk.
Justru angin sepoi-sepoi yang datang menerpa wajah di sekitar pemakaman bayi itu, memberikan efek kedamaian bagi kamu. Di sekitar pohon, ditempatkan kursi dari semen yang bisa digunakan pengunjung untuk bersantai.
Passiliran tak terlihat seperti pemakaman pada umumnya, di sekelilingnya terdapat pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi. Sedangkan pada bagian tengah terdapat sebuah pohon besar yang berdiri tegak dan dipagari dengan pagar besi.
Dikutip dari kumparan, seorang warga bernama Sima Batara menuturkan pohon tersebutlah yang dijadikan sebagai tempat pemakaman. Pohon bernama tarra itu dipilih masyarakat Toraja pada masa lampau untuk menguburkan anak-anak mereka yang masih bayi.
Terutama mereka yang menganut kepercayaan nenek moyang atau yang lebih dikenal sebagai Aluk Todolo. Pasalnya, menurut kepercayaan nenek moyang, bayi-bayi yang belum tumbuh gigi harus dikubur dalam pohon, agar jiwanya bisa selamat mencapai alam baka.
Nek Sando, salah seorang Tominaa (imam) dalam kepercayaan nenek moyang Toraja, Aluk Todolo, mengungkapkan bahwa anak yang belum tumbuh gigi tidak boleh dimakamkan sembarangan dalam liang batu atau tanah. Jika dikubur selayaknya manusia dewasa, jiwa mereka nantinya akan disambar oleh petir.
"Kalau (bayi) ini dimasukkan ke liang, nanti disambar (oleh) petir. Itu sudah pasti, karena apa? (Karena) katanya jiwa (mereka) akan merayap seperti ular, sehingga petir datang menyambar, mengambilnya, untuk diselamatkan. Itulah anggapan nenek moyang, (meskipun) keyakinan itu tidak bisa dibuktikan," kata Nek Sando.
Sima menjelaskan bahwa pohon tarra dipilih, karena memiliki getah yang banyak dan berwarna putih seperti susu. Sehingga dianggap dapat menggantikan sosok air susu ibu bagi para bayi yang meninggal.
Bayi-bayi yang meninggal dan dimakamkan dalam pohon tarra akan dikubur tanpa sehelai benang pun. Ia kemudian akan dimasukkan ke dalam pohon dalam posisi meringkuk, seperti posisi bayi dalam rahim.
Bayi-bayi yang dikubur dalam pohon tarra akan ditempatkan sesuai dengan stratifikasi sosial keluarganya. Semakin tinggi derajat keluarganya, maka semakin tinggi pula lubang tempat ia dimakamkan.
Lubang penguburannya pun disesuaikan dengan arah rumah keluarganya. Biasanya bayi yang meninggal akan dikubur dalam lubang yang mengarah ke rumahnya, lalu ditutupi dengan ijuk agar oksigen tetap bisa masuk.
Sayangnya, ketika sang bayi meninggal, ibu kandung mereka tidak diperbolehkan melihat hingga jangka waktu kurang lebih setahun. Bahkan ketika mereka dimakamkan.
Menurut keyakinan masyarakat Toraja masa lalu, melihat bayi yang meninggal dianggap tidak pantas dan akan mengurangi kemungkinan sang ibu mendapatkan bayi sehat lagi di masa mendatang. Jika dikaitkan dengan masa kini, mungkin saja sebenarnya pantangan itu dulunya diterapkan agar sang ibu tidak merasa sedih dalam waktu yang terlalu lama, sehingga tidak stres.
Passiliran di Kambira hanya berisi satu buah pohon tarra. Tapi itu bukan berarti hanya ada satu orang bayi saja yang dimakamkan di sana. Pasalnya, dalam satu pohon, bisa memuat lebih dari 10 anak bayi.
Baca Juga: Mengenal Ritual Ma'nene, Membangkitkan Mayat dari Tempat Peristirahatannya
Pohon tarra tidak boleh ditebang, karena apabila ditebang, maka kamu dianggap memutus kelanjutan hidup atau perjalanan si bayi menuju alam baka. Meski pohon itu dilubangi untuk dijadikan makam, menurut penuturan Sima, pohon tarra hidup dengan baik selayaknya pohon biasa.
Sayangnya, pohon tarra kini tak lagi hidup dan meninggi semenjak tersambar petir. Di ujung pohon, kamu akan menemukan gumpalan ijuk menutupi ujung bagian atasnya yang juga berasal dari pohon aren yang mati tersambar petir, dan tumbang tepat di atas pohon tarra.
Menurut keterangan warga sekitar, semenjak masuknya agama, passiliran sudah mulai tak lagi digunakan untuk memakamkan bayi-bayi Toraja. Sejak sekitar tahun 1970-an, penguburan bayi ke dalam pohon tarra tak lagi dilakukan.