Sejarah Hari Raya Idul Adha yang jatuh pada Selasa 20 Juli 2021 memang sangat menarik untuk diulas. Sebab, Idul Adha yang identik dengan penyembelihan hewan kurban ini mempunyai makna pengorbanan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Nabi Ismail.
Perlu diingat, penyembelihan hewan kurban saat Hari Raya Idul Adha semata-mata hanya untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT.
Hari Raya Idul Adha sendiri, jatuh pada 10 Zulhijjah atau tanggal 20 Juli 2021.
Makna pengorbanan Nabi Ibrahim
Dilansir dari berbagai sumber, pelaksanaan penyembelihan hewan kurban saat Hari Raya Idul Adha diawali dari pengorbanan Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail yang penuh makna.
Nabi Ismail sendiri, merupakan putra Nabi Ibrahim hasil pernikahan dengan Siti Hajar. Menariknya, kehadiran Nabi Ismail sangat dinantikan oleh Nabi Ibrahim selama bertahun-tahun.
Penyembelihan Nabi Ismail
Tepat tanggal 8 Zulhijah, Nabi Ibrahim yang berusia 86 tahun bermimpi menyembelih putranya Nabi Ismail. Mimpi tersebut, selalu menjadi bahan perenungan dirinya.
Keesokan harinya, tanggal 9 Zulhijah, Nabi Ibrahim meyakini bahwa mimpi menyembelih putranya Ismail merupakan wahyu dari Allah SWT.
Dengan penuh ketaatan dan ketakwaan kepada Allah SWT, Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail menerima perintah tersebut. Namun, keajaiban datang, tubuh Nabi Ismail digantikan oleh Allah SWT digantikan oleh seekor kambing gibas yang berbulu panjang.
Baca Juga: Tips Cara Lengkap Mengolah dan Memasak Daging Kurban Empuk Lunak Enak
Dari kisah tersebut, dapat diartikan makna pengorbanan Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya Nabi Ismail merupakan bentuk ketakwaan dan ketaatan seorang muslim kepada Allah SWT.
Hukum berkurban
Berdasarkan sebuah hadist Nabi Muhammad SAW, hukum berkurban adalah sunnah.
Seperti dalam hadist:
Rasulullah SAW menceritakan sendiri sejarah kurban kepada sahabat-sahabatnya. Dalam riwayat Zaid bin Arqam, para sahabat bertanya kepada Nabi SAW: "Wahai Rasulullah SAW, apakah kurban itu? Rasulullah SAW menjawab: 'Kurban adalah sunnahnya bapak kalian, Nabi Ibrahim'," (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).