Langkah Menuju Budaya Corporate Startup Dalam Era Disrupsi di Tubuh BUMN

Langkah Menuju Budaya Corporate Startup Dalam Era Disrupsi di Tubuh BUMN

Dedi Sutiadi
2021-03-31 20:28:48
Langkah Menuju Budaya Corporate Startup Dalam Era Disrupsi di Tubuh BUMN
Adrian Zakhary, STP., MSE | Komisaris Independen PTPN VIII Digital Transformation Expert dan Pendiri Gerakan Kedaulatan Digital Republik Indonesia KDRI

Dalam menghadapi Era Disrupsi, hampir semua bisnis gagap. Tidak hanya swasta, melainkan juga Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sebagai perusahaan negara, BUMN tentu menghadapi tantangan besar untuk ikut serta dalam Era Disrupsi, tidak ketinggalan dalam hiruk pikuk dunia. Namun, Era Disrupsi seringkali diasosiasikan langsung dengan definisi Digitalisasi atau Industry 4.0, dimana kegagapan tersebut berubah menjadi ketakutan sehingga memicu “otak amygdala” para Pemimpin (Leader) BUMN untuk berbuat sesuatu yang bisa “dianggap” mendukung perubahan di Era Disrupsi. Sehingga dengan bernarasi berbau “Disruptive” maka diartikan sebagai sudah “ikutan” atau menjadi bagian dari generasi kekinian yang melek digital. Padahal hal tersebut lebih terkesan atau dianggap “ikut-ikutan” Go Digital atau berdefinisi soal Digitalisasi, Internitasasi, Otomatisasi, Big Data, Artificial Intelligence, Cloud Computing, Internet of Things atau berbagai hal yang terkesan “keren” atau tampak baik-baik saja di Era Disrupsi ini, padahal dalam penerapannya Nol Besar.


Era Disrupsi sejatinya disebut sebagai sebuah gangguan yang terjadi saat suatu inovasi masuk ke pasar dan menciptakan efek yang mengubah struktur pasar sebelumnya, atau secara sistematis mampu menghancurkan (mendisrupsi) perusahaan yang tidak siap menghadapi the real disruptive crisis. Ambil contoh Nokia dan Blackberry yang bangkrut karena kehadiran Android. Dominasi Nokia di era 2000-an seketika runtuh, karena tidak mau mengikuti perubahan “Inovasi” yang sedang terjadi di akhir 2000-an. Lalu ada juga Yahoo yang tutup pada 2016, padahal hampir separuh populasi dunia menggunakan email Yahoo sebelumnya. Atau belajar dari Kodak yang berdiri pada 1888 dan berhasil melewati berbagai gangguan (disruptive) inovasi  selama beberapa dekade pun akhirnya harus takluk dengan kehadiran kamera digital. Ironisnya, Kodak adalah penemu Kamera Digital pertama di dunia.

Fenomena Inovasi Disruptif tentu bukan pertama kalinya terjadi di dunia. Setiap masa pasti ada berbagai inovasi baru yang memaksa teknologi lama atau kebiasaan lama untuk berubah, bahkan secara signifikan. Melihat hal ini, Profesor Harvard, Clayton Christensen menyusun sebuah penelitian dan diterbitkan pada tahun 1997 dalam buku “The Innovator’s Dilemma”, dimana beliau mengenalkan teori “Disruptive Innovation” atau ”Inovasi Disruptif (Gangguan).” Teori Inovasi Disruptif ini menjadi salah satu ide paling brilian dimana Profesor Christensen menjelaskan secara ilmiah melalui sebuah model yang sangat relevan dengan kondisi Era Disrupsi yang terjadi kini.


Menurut Christensen, Inovasi Disrupsi adalah sebuah inovasi yang membantu terciptanya pasar baru dan jaringan bernilai (value network), dan bahkan bisa mengganggu pasar dan jaringan (bisnis) yang sudah hadir sebelumnya (selama beberapa dekade), menggantikan teknologi sebelumnya. Inovasi ini seringkali bisa menciptakan pasar baru, mengganggu “incumbent” dan bahkan merusak pasar yang sudah ada. Ciri khas dari Model Profesor Harvard ini biasanya produk atau jasa (service) dari pendatang baru memiliki produk yang lebih rendah kinerjanya, harga lebih murah dan menyasar konsumen baru (low-end market). Namun seiring berjalannya waktu, dimana produk tersebut semakin diterima oleh konsumen, maka “incumbent” akan merasa terganggu dengan kehadirannya, dan terjadilah “gangguan” dimana bisa beresiko terhadap persaingan antara “pendatang” vs “incumbent.” Dalam beberapa kasus bisnis pendatang yang sering dikenali sebagai “Startup” ini akhirnya bisa mengganggu bisnis, menggantikan “pemain” lama atau bahkan menciptakan pasar baru.

Lawan dari “Disruptive Innovation” adalah “Sustaining Innovation” atau Inovasi Bertahan. Jika perusahaan baru menciptakan sesuatu yang lebih baru, inovatif, terjangkau, layak dan kreatif, maka perusahaan baru tidak harus meniru gaya bisnis “startup” perusahaan baru atau dengan kata lain berusaha membuat atau membangun “startup” untuk menyelamatkan perusahaan. “Inovasi Bertahan” dilakukan dengan tetap fokus terhadap pasar yang sudah ada, bukan alih-alih menciptakan sesuatu yang bukan keahliannya, tapi menambahkan “value” terhadap produk dan konsumen yang sudah ada.

Singkatnya, BUMN sebagai perusahaan eksisting atau “incumbent” menghadapi berbagai “gangguan” dari berbagai sektor bisnis. Para pendatang baru yang datang kurang dari satu dekade ini, sudah berhasil memasuki berbagai sektor yang juga menjadi bisnis BUMN. Mulai dari bidang transportasi, dimana ada Gojek dan Grab, lalu bidang Multimedia (Media, Film, OTT) sudah terganggu dengan kehadiran Social Media & OTT Platform baik dari Amerika Serikat maupun dari China, seperti Netflix, HBO Go, Disney+, iQiyi, atau WeTV. Bidang keuangan juga tak luput dari disrupsi yang tengah terjadi mulai dari Lembaga Keuangan Digital, pinjaman dan asuransi yang memiliki inovasi-inovasi terkini. Daripada melakukan hal yang sama seperti menciptakan “Disruptive Innovation” atau menciptakan produk yang sama dengan para pendatang, BUMN akan lebih ajeg jika mulai menyusun Budaya Corporate Startup, atau membuat “Sustaining Innovation” di seluruh sektor bisnis yang terdampak Era Disrupsi.

Jika melihat definisi budaya di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maka budaya adalah pikiran; akal budi atau adat istiadat atau sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju) atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Menurut Taylor (1871), budaya adalah suatu keseluruhan yang kompleks meliputi kepercayaan, kesusilaan, seni, adat istiadat, hukum, kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang sering dipelajari oleh manusia sebagai bagian dari masyarakat. 


Ketika berbicara tentang korporasi di BUMN khususnya, maka membangun budaya korporasi yang tepat di Era Disrupsi menjadi suatu tantangan utama yang jika tidak dilakukan dengan benar, malah akan menggiring perusahaan ke jurang kehancuran. Tidak main-main, perusahaan besar sekalipun bisa gulung tikar di era Disrupsi. Sehingga untuk mencapai Visi Indonesia Maju, perubahan budaya korporat yang lebih baik tentu menjadi wajib dilakukan. 

Syed Othman Alhabshi (2005) menyatakan bahwa budaya kerja adalah cara kerja yang berdasarkan suatu sistem nilai yang dipegang setiap karyawan dan staf dalam organisasi. Sementara Alauddin Sidal (2005) menjelaskan Budaya Korporat terdiri dari beberapa komponen kepekaan (rasa); kesetiaan, komitmen, kepemilikan, tanggungjawab, kewajiban, pencapaian, urgensi, bangga dan pemenuhan diri (aktualisasi diri). Untuk bisa bersaing di Era Disrupsi tentu Budaya Organisasi harus bisa beradaptasi dan terus berinovasi. Nilai inti organisasi semestinya harus diikuti dengan perubahan-perubahan yang mendasar dalam budaya Era Disrupsi. Seperti yang dikatakan Robbins dan Mukerji (1994), bahwa “Value represent basic convictions about what is right and wrong” atau dengan kata lain nilai adalah keyakinan yang dianut individu atau kelompok untuk menentukan dan memilih tindakan yang benar atau salah.


Lantas dalam Era Disrupsi, apa yang sudah dan akan dilakukan BUMN untuk bisa beradaptasi dengan cepat? 

Steve Jobs, pendiri dan mantan CEO Apple, mengatakan “Inovasi tidak berhubungan dengan berapa banyak anggaran litbang yang anda miliki… Ini tentang pekerja yang anda miliki, bagaimana anda diarahkan, dan seberapa baik pemahaman anda” Sehingga peran dari talent sangat diperlukan dalam berinovasi menuju budaya perusahaan era disrupsi. Peran Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi sangat penting dalam setiap keputusan yang akan diambil oleh perusahaan. Dimulai dari level tertinggi perusahaan sampai dengan level terbawah di organisasi seharusnya memiliki “pikiran” yang sama, satu Visi dan Misi, memiliki budaya organisasi yang menuju terhadap berbagai langkah-langkah taktis, praktis dan inovatif.

Dalam buku “The Corporate Startup”, Tendayani Viki dkk membuat lima prinsip membangun ekosistem inovasi perusahaan, yaitu Tesis Inovasi, Portofolio Inovasi, Kerangka Inovasi, Akuntansi Inovasi, dan Praktik Inovasi. Sehingga dalam beradaptasi di Era Disrupsi, tentu pengetahuan dan pembangunan ekosistem inovasi perusahaan mutlak dilakukan. Ekosistem berarti langkah-langkah metodologis; sekuen dan sistematis, harus dilaksanakan dari mulai Top Level hingga ke jajaran manajemen dan pekerja. 

Mulai dari menyusun serangkaian workshop terkait model bisnis eksisting, melakukan penelitian terhadap tren terkini, kekuatan pasar, kekuatan industri dan kekuatan ekonomi makro yang berimplikasi terhadap bisnis. Lalu membuat sejumlah kajian bisnis, melakukan validasi ide dan gagasan, serta membuat serangkaian tesis inovasi, yang bertujuan untuk menciptakan portofolio produk yang seimbang, sehingga ketika pergeseran (gangguan) terjadi maka perusahaan sudah terlibat dalam pencarian sumber keuntungan baru yang sistematis. Setidaknya, dikatakan bahwa ketika krisis terjadi maka perusahaan akan lebih siap, dan atau ketika krisis sedang terjadi, perusahaan akan lebih mampu merespons dan beradaptasi dalam menghadapi krisis yang disebut sebagai Era Disrupsi tersebut. Penyusunan Kerangka Inovasi, Akuntansi Inovasi dan Praktik Inovasi merupakan serangkaian ekosistem yang selanjutnya akan dibangun dalam mendukung penyusunan Inovasi Perusahaan di Era Disrupsi.


Tentu langkah untuk menuju Budaya Corporate Startup bukan pekerjaan mudah, beradaptasi dengan akselerasi untuk menciptakan “Sustaining Innovation”. Peran Leader BUMN menjadi sangat sentral dalam memimpin perubahan di Era Disrupsi. Steve Jobs, pada era kejayaan Apple pernah mengatakan, “Inovasi-lah yang membedakan antara pemimpin dan pengikut.”

Sebagai pemimpin di Kementerian BUMN, Menteri Erick Thohir, memiliki peran besar dalam membawa BUMN menghadapi Era Disrupsi. Terobosan inovasi sebagai acuan yaitu AKHLAK BUMN merupakan pesan kuat dalam kepimimpinan Chief ET. AKHLAK sendiri merupakan singkatan dari Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif dan Kooperatif, dan diharapkan jika BUMN semua bekerja dengan AKHLAK maka BUMN akan bisa memberikan kontribusi yang optimal kepada bangsa dengan image yang dapat dipercaya; sesuai dengan interaksi dengan Core Value di BUMN.

“Saya yakini AKHLAK juga sebagai pilar pembangunan karakter sebuah organisasi, sejak awal sebagaimana diberikan jabatan sebagai Menteri BUMN prinsip itulah yang ingin saya terapkan kepada tim yang saya pimpin.” Menteri BUMN Erick Thohir.


Peran Milenial Sebagai Pemimpin Masa Kini

Pada Juli 2020, Menteri Erick Thohir berkomitmen dalam Awarding Day BUMN Milenial Innovation Summit 2020 bahwa “Kami di jajaran BUMN tidak segan-segannya, sudah commit bahwa secara bertahap ke depan jumlah komisaris, direksi, termasuk jumlah manager-nya minimum lima persen (generasi milenial).”

Menteri Erick Thohir meyakini peran generasi milenial ini sangat penting untuk mewujudkan daya saing yang lebih kuat lagi baik secara nasional maupun internasional. Generasi muda memang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi, berbagai perusahaan Startup baik itu Unicorn maupun Decacorn, dicetak oleh kalangan milenial. Belum lagi berbagai sektor industri dan bisnis serta profesional dari milenial berhasil mencapai puncak kesuksesan di usia yang sangat muda. Komitmen Menteri Erick Thohir pun diwujudkan tak sampai satu tahun. Dalam Forum Bisnis Rapat Kerja Nasional (Rakernas) HIPMI XVII di Jakarta awal Maret 2021, Menteri BUMN menyatakan kesempatan lebih besar diberikan kepada generasi milenial untuk duduk di jabatan tinggi BUMN.

"Percayalah kita akan menjadi pemimpin konkret. Saat ini keterwakilan generasi milenial di jajaran direksi BUMN memiliki porsi 5 persen dari seluruh direksi yang menjabat. Ini bukan sekadar mendorong bahkan saya menjadikan persentase keterwakilan generasi muda sebagai key performance indicator (KPI) bagi para direksi BUMN dalam menjalankan target ini," Menteri BUMN Erick Thohir.

Diharapkan pemimpin dari kalangan Milenial bisa menjadi pemimpin yang berkualitas dengan basis AKHLAK, dan tentu saja dalam mengawal Budaya Corporate Startup. Peran Milenial BUMN di masing-masing sektor dalam mendukung dan membangun Ekosistem Inovasi, akan menjadi andalan BUMN untuk bersaing di Era Disrupsi. Serta berlari kencang untuk membawa BUMN menuju puncak dunia dengan menggelorakan Semangat #IndonesiaMaju.


Penulis:

Adrian Zakhary, STP., MSE

Komisaris Independen PTPN VIII

Digital Transformation Expert dan Pendiri Gerakan Kedaulatan Digital Republik Indonesia KDRI


Share :

HEADLINE  

Kaesang Optimis PSI Tembus Senayan Minta Kader Kawal Real Count

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 17, 2024 09:44:02


Hasil Real Count KPU Sulawesi Tengah: Suara PSI Tembus 4,17%

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 21:11:41


Pemuka Agama Himbau Semua Terima Hasil Pemilu, Saatnya Rekonsiliasi

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 13:44:30