Sejarah asal usul pusaka Kangjeng Kiai Tunggul Wulung adalah bendera yang dijadikan simbol (panji) Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang ampuh usir penyakit di Jogja. Pusaka ini dikeramatkan sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana I.
Kain tersebut merupakan hadiah kekhalifahan Turki kepada Raden Patah, Sultan Demak, tanda hubungan baik antara Kerajaan Turki dengan Kerajaan Demak ketika itu. Kangjeng Kiai Tunggul Wulung diberi nama demikian karena benda pusaka tersebut berwarna dasar biru tua kehitam-hitaman, dalam bahasa Jawa warna tersebut disebut wulung.
Di tengah bendera terdapat dekorasi berwarna emas, dan di tengah dekorasi terdapat kaligrafi Surat Al Kautsar, Asma’ul Husna, dan Syahadat. Pada waktu tertentu, bendera ini diarak keliling kota dan di beberapa perempatan jalan diserukan lafadz adzan.
Selain itu proses ini juga dimaksudkan sebagai upaya untuk tolak bala dan memohon kesembuhan bagi seluruh rakyat di Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Menurut para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, bendera ini berasal dari kain kiswah Ka’bah dari Mekah. Menurut perkiraan, usia panji ini sudah sangat tua, bahkan lebih tua daripada Keraton Yogyakarta sendiri, yang berdiri tahun 1755.
Keberadaan bendera Kangjeng Kyai Tunggul Wulung adalah berkat jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma. Konon, setiap hari Jumat, Sultan Agung dapat pergi mengaji ke Mekah karena kesaktiannya.
Pada suatu ketika terjadi wabah di Mekah, Sultan Agung membantu hingga wabah tersebut berhenti. Karena jasanya, Sultan Agung dihadiahi serban berwarna biru-hitam yang konon pernah dikenakan seseorang yang dekat dengan Nabi Muhammad. Setelah tiba kembali di Yogyakarta, serban tersebut dibuat menjadi bendera.
Rupanya pada tahun 1820, wabah Pes merebak di wilayah Kerajaan Ngayogyakarta. Ratusan orang meninggal akibat wabah tersebut. Hal ini membuat Hamengkubuwono V memerintahkan seorang abdi dalemnya untuk mengkirab Pusaka Kyai Tunggul Wulung keliling benteng Kraton. Rupanya tak berselang lama, wabah Pes itu kemudian mereda.
Namun kondisi itu rupanya tidak bertahan lama. Bahkan pada tahun 1821, wabah Pes kembali merebak. Hingga korbannya sampai ribuan jiwa. Dengan adanya peristiwa tersebut Pusaka Kyai Tunggul Wulung kembali diarak keliling benteng. Tak lama kemudian wabah itu kembali menghilang.
Setelah itu pada tahun 1918 wabah Flu Spanyol merebak dan menyebar hampir ke seluruh dunia. Dalam buku karya sejarahwan Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku Kota Yogyakarta 1880-1930, Pusaka Ki Tunggul Wulung diarak pada saat wabah itu merebak sampai Kota Yogyakarta.
Sebelum mengarak Kyai Tunggul Wulung, para jagal terlebih dahulu memotong seekor kerbau betina putih agar upacara tolak bala bisa dimulai. Bahkan wabah yang merebak di Yogyakarta pada musim kemarau itu juga menelan korban jiwa sebanyak 1,5 juta orang di Hindia Belanda.
Tak sampai disitu wabah Pes kembali merebak di Yogyakarta pada tahun 1931. Waktu itu, wabah Pes merebak di perkampungan warga Kota Gede yang terletak di selatan Yogyakarta.
Sultan Hamengkubuwono VIII dimohon untuk bisa meminjamkan pusaka Kyai Tunggul Wulung. Sultan menyetujui permohonan tersebut dengan syarat Kyai Tunggul Wulung hanya diarak di sekitar Kota Yogyakarta, bukan di Kota Gede. Akhirnya pusaka itu diarak pada malam tanggal 21-22 Januari 1932.
Rupanya upacara ini selalu didampingi oleh sebuah bendera pusaka lain yaitu Kanjeng Kiai Pare Anom yang dibuat pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana V. pelaksanaan upacara ini melalui dua tahap.
Tahap pertama disebut “mbusanani”. Artinya memberi busana atau mengenakan busanane Kanjeng Kiai Tunggul Wulung dan Kanjeng Pare Anom.
Untuk tahap pertama dilakukan pada senja hari sesudah sholat Maghrib di serambi Masjid Keraton yang disebut Masjid Panepeh.
Tahap kedua disebut “miyosaken” artinya mengeluarkan dari dalam lingkungan keraton untuk diarak keliling kota.
Untuk tahap kedua pada malam hari sesudah waktu sholat Isya. Dan harus bertepatan pada hari Jumat Kliwon. Sesudah ada dhawuh dalem dan dilakukan di halaman (pelataran) bangsal Sri Manganti di pagelaran di Alun-alun Utara. Kenduri selamatan dilakukan di Serambi Masjid Panepeh dan di serambi Masjid Besar.
Upacara ini bermaksud untuk membasmi wabah penyakit menular yang melanda kota Yogyakarta. Dan terakhir dilaksanakan pada tahun 1943 sewaktu ada wabah penyakit pes.
Penyelenggaraan teknis upacara adalah punggawa keraton (abdi dalem) golongan Suronoto, kaji, somatali, gladhog, prajurit-prajurit, pihak-pihak yang terkait dalam upacara ialah Sri Sultan, keluarga Sri Sultan yang menjadi pejabat-pejabat tinggi keraton, abdi dalem dan masyarakat.
Lima hari sebelum upacara dilakukan para abdi dalem yang bersangkutan harus bersuci dahulu dengan menjalani puasa kemudian mandi dan keramas. Untuk para abdi dalem golongan Suronoto, baju beskap warna hitam, celana panji-panji dan samir.
Dalam upacara tersebut juga ada dua pucuk tombak pusaka yaitu Kanjeng Kiai Slamet (Kanjeng Kiai Duda) dan Kanjeng Kiai Santri. Bendera pusaka Kanjeng Kiai Tunggul Wulung dipasang pada tombak Kanjeng Kiai Anom dipasang pada tombak Kanjeng Kiai Santri.
Selain itu juga ada dua buah payung kebesaran untuk memayungi kedua bendera pusaka, Puluhan obor, dua buah pedupaan lengkap dengan kemenyan,
beberapa ekor kuda, sebilah pisau jagal, beberapa buah pacul dan linggis, sebuah ancak, bangunan tratag untuk tempat sesajen.
Dalam upacara tersebut juga ada urutan yakni barisan terdepan pasukan prajurit Jogokaryo dan Patangpuluh.
Kelompok abdi dalem golongan Kaji, diiringi Kiai Kanjeng Pangulu atau wakil dengan naik kuda. Kelompok para petugas pembawa oboran pembawa perdupaan.
Kemudian kedua bendera pusaka, diapit oleh kurang lebih lima puluh abdi dalem Suronoto. Kelompok para pembesar keraton sebanyak 13 orang. Dan kelompok penduduk Yogyakarta.
Kemudian diarak keliling kota Yogyakarta itu berlangsung semalam suntuk dan baru berakhir di pintu pagelaran keraton pada saat fajar terbit. Sri Sultan dan para pejabat tinggi keraton serta sejumlah anggota keluarga Sri Sultan semalam suntuk berjaga dengan melakukan dzikir.