Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menjadi tersangka kasus suap soal ekspor benur (benih lobster). Terdapat fakta yang mengejutkan, total suap tersebut sebesar Rp 9,8 M digunakan untuk belanja di Hawaii.
Pernyataan tersebut berdasarkan keterangan dari jumpa pers KPK, Rabu 25 November 2020 malam, disiarkan langsung lewat kanal YouTube KPK RI.
Edhy Prabowo dan rombongan ditangkap KPK sepulangnya dari Hawaii, di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Banten, pada Rabu 25 November 2020 pukul 00.30 WIB. Selain itu, ada pula kegiatan tangkap tangan di Tangerang dan Depok. Total ada 17 orang ditangkap KPK.
Kronologi
Pada 14 Mei 2020, Edhy menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster. Pihak yang hendak menjadi eksportir benur harus memenuhi penilaian Tim Uji Tuntas sebagaimana yang tertera dalam Surat Keputusan itu.
Tim Uji Tuntas dipimpin oleh Staf Khusus Edhy bernama Andreau Pribadi Misanta (APS) selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. Ada pula Staf Khusus Menteri Edhy bernama Safri (SAF) selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas.
Baca Juga: Minta Maaf Edhy Prabowo Mundur dari Menteri dan Partai
Awal Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) bernama Suharjito (SJT) datang ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk bertemu SAF. PT DPPP hendak menjadi eksportir benur. Untuk mengekspor benur, maka syaratnya harus melalui PT Aero Citra Kargo (PT ACK). PT ACK ini bertindak sebagai 'forwarder' benur dari dalam negeri ke luar negeri.
Selanjutnya, suap dari calon eksportir benur mengalir ke rekening PT ACK, berakhir untuk belanja-belanja:
Supaya diterima sebagai eksportir benur, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp 731.573.564,00.
"Selanjutnya PT DPP atas arahan EP melalui Tim Uji Tuntas memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster benur, dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakna perusahaan PT ACK," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam jumpa pers.
Uang yang berasal dari beberapa perusahan yang berminat menjadi eksportir benur atau lobster tersabut kemudian masuk ke rekening PT ACK. Adapun PT ACK sendiri dipegang oleh Amri dan Ahmad Bahtiar, diduga merupakan calon yang diajukan pihak Edhy Prabowo serta Yudi Surya Atmaja.
Uang dari rekening PT ACK kemudian ditarik masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar.
"Masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar," kata Nawawi.
5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih (staf istri Edhy) sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy Prabowo, istrinya bernama Iis Rosyati Dewi, stafsus Edhy bernama Safri, dan stafsus Edhy bernama Andreau Pribadi Misanta. Duit Rp 3,4 miliar itu dipakai belanja-belanja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (AS).
"Penggunaan belanja oleh EP dan IRW di Honolulu AS ditanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sekitar Rp 750 juta, di antaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy," kata Nawawi.
"Di samping itu pada sekitar bulan Mei 2020, EP juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100 ribu dari SJT melalui SAF dan AM. Selain itu SAF dan APM pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total Rp 436 juta dari AM," kata Nawawi.
Jadi, dugaan KPK, duit dari para calon eksportir benur yang terkumpul di rekening PT ACK itu kemudian ditransfer ke rekening lain dan digunakan untuk belanja-belanja di luar negeri.
Sejumlah barang bukti dari kegiatan tangkap tangan diperlihatkan oleh KPK. Ada satu unit sepeda balap dalam kardus, jam tangan Rolex, hingga kartu ATM.
Baca Juga: Tanggapan Wagub DKI Jakarta Terkait Penangkapan Edhy Prabowo
"Dari hasil tangkap tangan tersebut ditemukan ATM Bank atas nama AF, tas LV (Louis Vuitton), tas Hermes, baju Old Navy, jam Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumi dan Tas Koper LV," kata Nawawi.
Para Tersangka
ujuh orang tersangka dari kasus ini masing-masing sebagai penerima suap dan pemberi suap. Berikut rinciannya.
Sebagai penerima:
1. Edhy Prabowo sebagai Menteri KKP;
2. Safri sebagai Stafsus Menteri KKP;
3. Andreau Pribadi Misanta sebagai Stafsus Menteri KKP;
4. Siswadi sebagai Pengurus PT Aero Citra Kargo (PT ACK);
5. Ainul Faqih sebagai Staf istri Menteri KKP; dan
6. Amiril Mukminin
Sebagai pemberi:
7. Suharjito sebagai Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP).
Para penerima disangkakan Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan tersangka pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.