Perbukitan Zona Serayu Utara yang berada di perbatasan wilayah utara Purbalingga–Pemalang, Jawa Tengah, menyimpan cerita misteri tentang keberadaan suku Pejajaran.
Masyarakat desa di sekitar perbukitan, seperti Desa Tundagan, Desa Sirongge, Kabupaten Pemalang, dan Desa Sirau, Jingkang, Panusupan, Kramat, Tunjungmuli, Tanalum, serta Gunungwuled, Kabupaten Purbalingga mengenal satu kelompok masyarakat khusus yang dinamakan Suku Carang Lembayung atau Suku Pejajaran (Pijajaran/Mijajaran).
Keberadaannya belum terdokumentasikan dengan baik, tetapi ingatan warga masih lekat dengan perjumpaan yang kerap terjadi. Kesaksian warga bernada sama, anggota Suku Pejajaran tidak memiliki tumit atau berjalan jinjit dan tidak memiliki lekukan di atas bibir.
Taufik Katamso, anggota senior Perhimpunan Pegiat Alam Ganesha Muda sudah melakukan penelusuran keberadaan 'Wong Alas' tersebut sejak 1998. Namun, dia kerap berbenturan dengan satu kendala yaitu cerita dan kesaksian dari warga banyak diselimuti cerita mistis.
"Warga mengatakan orang-orang Pejajaran memiliki daya linuwih, bisa berubah menjadi macan, menghilang, dan bisa mendatangkan mala jika membicarakan kebaradaan mereka," kata Taufik.
Berawal dari kegiatan PPA Gasda melakukan ekspedisi Panu-Tunda, yakni menjelajahi perbukitan dari Desa Panusupan, Purbalingga menuju Desa Tundagan, Pemalang, cerita-cerita tersebut diperoleh.
Saat akhir ekspedisi, tim penjelajah PPA Gasda menginap di rumah Karnoto, warga Desa Tundagan berusia sekitar 60 tahun. Inilah pertama kalinya mereka mendengar banyak kisah tentang Wong Alas.
"Pada tahun 2004 ketika kami di sana, warga Desa Tundagan bercerita bahwa pada hari raya Idul fitri tahun 2000, empat orang anggota Suku Carang Lembayung turun gunung menuju Kecamatan Watu Kumpul melalui desa Tundagan," kata Taufik.
Empat orang tersebut dikerubuti anak-anak karena keunikannya yaitu tidak memiliki tumit. Lanjutnya, perjumpaan tidak sering terjadi, tetapi kadang mereka turun gunung terutama ke daerah utara hutan yaitu wilayah Pemalang untuk menjual kain putih di pasar.
Kejadian menjual kain putih ini (mori) yang menyebabkan kabar baru tersiar bahwa Wong Alas itu pemakan bangkai manusia, yaitu, dengan mencuri jenazah di kuburan, kemudian menjual kainnya di pasar.
"Karena perjumpaan terjadi beberapa kali, warga mengenal nama mereka, entah nama asli atau warga memberi nama mereka, yaitu Kantong, Risno, dan San Klonang, yang berjenis kelamin laki-laki, serta Teplo/Tumplek yang berjenis kelamin perempuan," ujarnya.