Merujuk data dari BNPB pada 26 Juli 2020, Surabaya tercatat sebagai wilayah dengan angka kematian tertinggi di antara seluruh wilayah di Indonesia. Tercatat ada 803 orang meninggal di Surabaya sebab terjangkit virus corona.
Semnatar jika, merujuk Slaman https://lawancovid-19.surabaya.go.id/, berdasarkan data hingga 27 Juli, total ada 748 pasien COVID-19 di Surabaya yang meninggal. Hal tersebut menurut dokter, bisa disebabkan karena kurangnya fasilitas di Rumah Sakit.
Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur RSIS Ahmad Yani, dr Samsul Arifin, MARS. Menurutnya salah satu penyebab tingginya angka kematian pasien positif corona adalah disebabkan terbatasnya ventilator. Alat bantu pernapasan ini menjadi penting sebab banyak pasien yang membutuhkannya.
Baca juga: Klaim Puncak Covid-19 Jatim Telah Dilewati, Khofifah: Sekarang PR-nya Turunkan Angka Kematian
"Di RS biasanya jumlah ventilator terbatas, sedangkan yang membutuhkan banyak. Jadi salah satu faktor penyebab kematian tinggi di RS. Biasanya jatuh pakai ventilator pasti diawali dengan gejala awal gagal napas," kata Samsul saat dihubungi, Selasa 28 juli 2020.
"Kalau sudah terlambat diberi ventilator, biasanya banyak gagalnya. Di RS mana pun, saya dapat laporan 82 persen yang pakai ventilator meninggal karena keterlambatan penggunaan ventilator. Karena orang dikirim dalam keadaan gagal napas," imbuhnya.
Samsul lantas mengungkapkan bahwa langkah yang harus segara diambil untuk menekan angka kematian salah satunya dalah dengan meningkatkan early warning system (EWS). Atau rangkaian sistem komunikasi informasi yang dimulai dari deteksi awal dan pengambilan keputusan selanjutnya harus kuat. Jika terlambat ditangani, pasien tidak tertolong.
Baca juga: Diduga Perkosa Anjing, Pria di Sulsesl Diadukan Pecinta Satwa ke Polisi
"Jadi deteksi dini agar tidak jatuh dalam gagal napas. Karena, kalau sudah gagal napas, pasti butuh ventilator dan ventilator terbatas. Kalau gagal napas antre pakai ventilator dan karena keterlambatan itu membuat pasien meninggal," tambahnya.
Selain ventalotor, menurut samsul yang menjadi sebab dalah minimnya monitor untuk mengecek pernapasan dan tekanan darah. Samsul mengatakan, jika sudah punya monitor, minimal bisa mendeteksi pasien."Walaupun kurang ventilator dan kondisi pasien menurun, langsung bisa dirujuk, sehingga sistem rujukan bisa berjalan juga," lanjutnya.
Solusi yang ditawarkan samsul adalah pentingnya sinergi antara RS yang ada di Surabaya. Pemerintah membuat pemetaan RS mana saja yang memiliki ventilator kosong, sehingga pasien dengan kondisi berat bisa dirujuk.
"Supaya tahu kemampuannya, kita tidak memaksakan. RS harus mapping kemampuannya, sehingga sistem rujukan bisa lebih lancar. Jangan terlambat menangani pasien. Kalau dijalankan, pasien bisa tertolong dengan cepat. Meskipun yang menggunakan ventilator itu kemungkinan hidup kecil, RS tetap berusaha dan mengupayakan agar tertolong," pungkasnya.
Sumber: detikcom