Siapa yang tidak kenal tokoh Prabu Angling Dharma, Raja yang terkenal sakti mandraguna dari tanah Jawa. Dikisahkan Angling Dharma memiliki kerajaan yang diberi nama Malwapati yang letaknya sekarang di Desa Mlawat, Kecamatan Sukolilo.
Nama Mlawat mirip Malawapati, kerajaan Angling Dharma. Dua kilometer dari sana, di Desa Kedung Winong, Kecamatan Sukolilo, diyakini terdapat makam Patih Batik Madrim, tokoh dalam kisah Angling Dharma.
Bagi banyak orang, kisah Angling Dharma bukan legenda. Beberapa daerah, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur, percaya tokoh itu pernah hidup di masa lalu.
Lebih dari itu, Angling Dharma sempat diwacanakan menjadi ikon Kota Bojonegoro. Sampai-sampai tulisan di gapura perbatasan berbunyi: Selamat Datang di Bumi Angling Dharma. Tim kesebelasan kota itu, Persibo, juga punya julukan Laskar Angling Dharma.
Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar Sejarah Universitas Negeri Malang menjelaskan, meski tokohnya fiktif, nama tempat, geografis ekologis, jenis tanaman, sungai, dan laut, tetap mencerminkan kondisi nyata pada masa itu. Ia juga sah dianggap sebagai gambaran sosial dan budaya ketika sastra itu ditulis.
“Itulah kenapa susastra tetap bisa dijadikan sumber. Tidak untuk memfaktualkan tokoh fiktif. Tokoh bisa rekaan, namun kisahnya bisa saja memang kisah faktual,” kata Dwi.
Dewi mengatakan, sebelum berkembang kisahnya di berbagai daerah, Angling Dharma muncul lebih dulu dalam sastra lisan pada masa Hindu-Buddha.
“Yang menarik kemudian muncul klaim setting area untuk daerah-daerah tertentu. Dalam kisah yang kini dikenal luas, misalnya ada yang disebut Negara Boja atau Bojanagara, yang kemudian dianggap sebagai toponimi daerah yang kini dikenal dengan Bojonegoro,” ujar Dwi.
Baca juga: Legenda Buaya Putih Jelmaan Rondo Mori di Bojonegoro
Dwi sepakat bahwa kemungkinan tradisi lisan kisah Angling Dharma sudah ada sejak sebelum Majapahit. Versi tertulis berjudul Ari Dharma dan adaptasi ke dalam relief candi baru muncul pada era Majapahit. Namun, tak semua karya sastra mengabadikan peristiwa historis. Penokohannya juga tak mesti selalu ada dalam dunia nyata. Sastra jenis kidung yang berkisah tentang tokoh historis misalnya Kidung Ranggalawe dan Kidung Sorandaka.
“Dalam pengisahannya itu juga ada bias. Ada tambahan pengurangan, bias dari fakta untuk dramatika,” kata Dwi.
Jika karya fiksi itu kini dianggap seolah faktual, itu wajar. Pasalnya, dia begitu memasyarakat. Itulah, menurut Dwi, mengapa kemudian ada pelokalan atau pengkaitan kisah dengan wilayah tertentu.
“Bahkan ada kadang-kadang yang mengatakan, tradisi lisan asal usul daerah itu tergambar di Angling Dharma,” ujar Dwi.
Baca juga: Menikmati Cimol Khas Bandung yang Gurih Sebagai Cemilan di Rumah, Ini Resepnya
Dwi mengatakan kisah Angling Dharma hingga bisa diminati seperti sekarang ini karena keragaman tokohnya. Terutama karena berkaitan dengan cerita binatang. Buktinya, kisah tantrik atau cerita hewan banyak dijumpai sebagai relief dinding candi karena memang disukai pada masanya.
Pesan yang terkandung dalam cerita Angling Dharma juga dalam. Tentang kesetiaan dan dharma.
“Biasanya yang setia itu istri, tapi ini tidak. Ia (Angling Dharma, red.) laki-laki yang setia pada istri. Dia ingin ikut mati ketika istrinya mati. Setelah istrinya meninggal, dia bahkan hanya akan mencari wanita yang mirip dengan almarhum istrinya, Satyawati,” jelas Dwi.