Mengenal Suku Sakai, Suku Nomaden Asal Riau yang Bergantung Pada Hutan

Mengenal Suku Sakai, Suku Nomaden Asal Riau yang Bergantung Pada Hutan

Ahmad
2020-06-18 23:00:00
Mengenal Suku Sakai, Suku Nomaden Asal Riau yang Bergantung Pada Hutan
Tak seperti suku pedalaman lain, nama Suku Sakai terbilang cukup jarang terdengar. Suku tersebut merupakan salah satu suku asli Riau yang dulu dipercaya memiliki pola hidup berpindah-pindah. Foto: Istimewa

Tak seperti suku pedalaman lain, nama Suku Sakai terbilang cukup jarang terdengar. Suku tersebut merupakan salah satu suku asli Riau yang dulu dipercaya memiliki pola hidup berpindah-pindah. 

Kehidupannya suku tersebut pun dikenal selalu dekat dan bergantung pada hutan.

Nama Sakai sendiri konon memiliki kepanjangan Sungai, Kampung, Anak, dan Ikan. 

Baca Juga: Wah! Ternyata Ini Alasan Mengapa Perempuan Bali Tempo Dulu Tidak Menggunakan Penutup Dada

Nama tersebut mengacu pada cara hidup Suku Sakai yang selalu berpindah ke berbagai tepian sungai atau sumber air. Awal migrasi mereka dipercaya dimulai pada abad ke-14, dengan masuknya Suku Sakai ke kawasan Tepian Sugai Gasib, Hulu Sungai Rokan yang berada di pedalaman Riau.

Walaupun perpindahan yang dillakukan hanya di kawasan Riau, Suku Sakai diyakini memiliki darah keturunan minang dan Ras Weddoid. 

Campuran tersebut berasal dari leluhur mereka yang merupakan keturunan Pagaruyung, sebuah kerajaan melayu kuno yang berasal dari Sumatra Barat dan orang-orang yang berasal dari Hindia Selatan.

Karena sering berpindah, Suku Sakai umumnya tinggal di suatu pondokan yang mudah dibongkar. 

Di dalamnya tinggal beberapa keluarga dan seorang pemimpin yang biasanya disebut dengan batin. Beberapa lokasi yang sering ditinggali Suku Sakai di antaranya seperti daerah Kandis, Balai Pungut, Kota Kapur, Minas, Duri, sekitar Sungai Siak hingga bagian hulu Sungai apit.

Suku Sakai sangat menghormati hutan adat mereka. Kawasan yang biasa mereka sebut sebagai ulayat tersebut memiliki peraturan tertentu yang tak boleh dilanggar, salah satunya adalah larangan penebangan pohon.

Jika melanggar peraturan tersebut masyarakat Suku Sakai akan dikenakan denda uang yang jumlahnya setara dengan emas dalam ukuran tertentu, yang telah ditentukan dalam rapat adat. Denda itu biasanya disesuaikan dengan usia pohon yang ditebang.

Pohon yang sudah berumur akan memiliki nilai denda yang semakin tinggi. Larangan tersebut juga diberlakukan bagi orang dari luar suku sakai. Mereka yang melanggar peraturan bisa diusir dari kawasan bahkan dapat dibunuh.

Mereka pun memiliki satu wadah yang sering dimanfaatkan untuk menampung madu hutan. Wadah yang sering disebut timo tersebut terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Wadah yang sudah terbentuk lingkaran kemudian diberi batas dari rotan dan kemudian diberi tali.

Walaupun berpindah-pindah, Suku Sakai juga tetap melakukan aktivitas agraris seperti berkebun. Hal tersebut ditunjukan lewat alat gegalung galo yang dimiliki. Alat itu berguna untuk menjepit ubi manggalo yang kemudian dikumpulkan saripatinya untuk dimakan.

Kawasan hutan yang semakin berkurang karena dimanfaatkan oleh perusahan dan pihak lain mendorong Suku Sakai untuk meninggalkan cara hidup mereka yang lama. Ilmu mereka dalam mengolah alam sekitar pun semakin terbatas untuk digunakan.

Baca Juga: Menguak Kisah Tentang Kedalaman Danau Toba yang Masih Misteri

Pemandangan Suku Sakai dengan baju kulit kayu yang mungkin umum dilihat 30 tahun yang lalu sudah tak terlihat. 

Masyarakat Suku Sakai kini sudah banyak berbaur dengan warga Riau lain. Kebanyakan dari mereka pun berpindah kepercayaan dari animisme menjadi muslim.


Share :

HEADLINE  

Kaesang Optimis PSI Tembus Senayan Minta Kader Kawal Real Count

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 17, 2024 09:44:02


Hasil Real Count KPU Sulawesi Tengah: Suara PSI Tembus 4,17%

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 21:11:41


Pemuka Agama Himbau Semua Terima Hasil Pemilu, Saatnya Rekonsiliasi

 by Andrico Rafly Fadjarianto

February 16, 2024 13:44:30