Suka Duka Nelayan Sangihe yang Menyatu dengan Laut

Suka Duka Nelayan Sangihe yang Menyatu dengan Laut

Yuli Nopiyanti
2020-06-08 15:49:55
Suka Duka Nelayan Sangihe yang Menyatu dengan Laut
Nelayan Kapupaten Sangihe (Foto:Dok.Istimewa)

Diketahui bahwa sebagai daerah kepulauan yang sebagian besar wilayahnya adalah lautan, hal ini membuat sektor kelautan dan perikanan menjadi andalan Kapupaten Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Bahkan tak hanya itu saja pasalnya para nelayan yang berada di Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulut ini menyatu dengan laut dalam menggenggam hidup.

Bahkan tak hanya situ saja kampung Bukide Timur, Kecamatan Nusa Tabuka, Kabupaten Kepulauan Sangihe ini juga masuk ke dalam salah satu gugusan pulau yang berjajar hingga ke pulau Marore yang berbatasan dengan Filipina. Ini juga memerlukan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan dengan menggunakan perahu bermotor.

"Tapi kami sudah terbiasa, hidup dan besar dari hasil laut. Sehingga sudah menyatu dengan kami," ungkap Makawowode Manumbalung, salah satu nelayan di Kampung Bukide Timur.

Baca Juga:  DIJAMIN NGAKAK! INI 10 NAMA DESA DI INDONESIA YANG UNIK DAN KOCAK

Tak hanya itu saja bahkan Makawowode bersama sejumlah warga lainnya antusias menceritakan bagaimana suka-dukanya menggantungkan hidup sebagai seorang nelayan.

"Kami biasa bekerja di pajeko atau kapal motor penangkap ikan. Pendapatan kami bisa dikatakan pas-pasan, karena hasil tangkapan itu setelah dijual akan dibagi dengan pemilik pajeko," jelasnya.

Makawowode mencontohkan, dalam satu pajeko misalnya ada 30 nelayan yang bekerja. Hasil tangkapan ikan jenis malalugis, deho dan tude itu lantas mereka jual ke pedagang di Kampung Petta atau Tahuna. Nah nasil penjualan itu, setelah dipotong biaya bahan bakar, mereka berbagi dengan pemilik.

"Misalnya hasil penjualan ikan semua tujuh juta. Setelah dipotong biaya bahan bakar, sisa lima juta. Dua setengah juta kami berikan ke pemilik pajeko, dan dua setengah juta kami bagi 30 orang nelayan," ujar dia.

Mendapat penghasilan kurang dari seratus ribu rupiah untuk pekerjaan semalam mencari ikan dengan menerjang ombak, tentu bukan hasil yang menggembirakan untuk Makawowode dan kawan-kawan.

Keraifan Lokal Menjaga Laut

Bhakan tak ahnay itu saja pasalnya dengan minimnya pendapatan mereka, selain karena faktor cuaca dan peralatan penangkapan ikan, juga disebabkan pencurian ikan dengan menggunakan pukat berukuran kecil serta penggunaan bahan peledak dan racun.

"Akibatnya sudah bisa dipastikan ikan dari kecil hingga besar ditangkap. Sehingga stok ikan makin menipis, atau kian jah kami mencarinya. Konsekuensinya adalah biaya bahan bakar membengkak," ujar Wilson.

Menyadari makin sulitnya dan jauhnya mencari ikan ke tengah laut, warga Kampung Bukide Timur didampingi Perkumpulan Sampri menginisiasi pembentukan Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Daerah Perlindungan Laut (DPL).

Baca Juga: JEMBATAN MERAH DI SURABAYA, DIBALIK BAU ANYIR DARAH SERING TERDENGAR JERITAN MINTA TOLONG, BENARKAH?

"Dalam KKL atau DPL ini, intinya ada tiga zona yakni zona inti, zona penyangga, dan zona perikanan berkelanjutan," ungkap Sahrul Pansariang, Kapitalau atau Kepala Kampung Bukide Timur.

Namun tak hanya itu saj apasalnya hal ini menariknya, pembentukan KKP dan DPL itu kemudian dirumuskan dalam sebuah Peraturan Kampung yang intinya mengatur jenis alat penangkap ikan, wilayah mana saja yang dibolehkan dan mana yang dilarang untuk menangkap ikan.

"Dalam Peraturan kampung Nomor 02 Tahun 2007 itu juga diatur sangsi bagi mereka yang melanggar. Ada sangsi teguran hingga menjadi pekerja sosial, membayar denda, alat penangkap ikan disita, hingga pidana," kata Sahrul didampingi Sekretaris Kampung Albar Bulegalangi.



Share :