Perayaan hari lebaran atau idul fitri selalu identik dengan ketupat. Terasa ada yang kurang jika tidak ada ketupat di momen perayaan kemenangan umat muslim tersebut. Namun bukan hanya rasanya yang nikmat, ketupat dari sisi bahasa dan maknsa memiliki pesan yang begitu filosofis.
Kurator dan ko-kurator tekstil Minangkabau dari Textile Museum in Washington, D.C Amerika Serikat, John Summerfield dan Anne Summerfield dalam tulisan mereka 'On Culture's Loom' menulis ketupek atau ketupat adalah kantung segi empat yang terbuat dari anyaman helaian daun kelapa.
Beras dimasukkan ke dalamnya dan direbus dalam air mendidih hingga butiran beras menjadi padat dan menyatu. Kantung ketupat tidak dimakan. Ketupat merupakan makanan khas Nusantara selama perayaan Idul Fitri atau lebaran, penanda berakhirnya bulan puaso (Ramadhan).
Ketupat menjadi simbol penting masyarakat Indonesia dalam merayakan hari lebaran, mengapa demikian? ternyata ada makna filosofis dari ketupat.
Beras mewakili bahan makanan yang dibutuhkan dan kantung ketupat mewakili cahaya iman. Di Indonesia, daun kelapa, yang digunakan untuk membuat kantung ketupat, disebut juga janur. Nur merupakan kata dari Bahasa Arab yang berarti cahaya.
Ketupat menyimbolkan orang yang beriman akan mampu memenuhi kebutuhan materi. Saat ketupat direbus selama berjam-jam, kantungnya tidak hancur dan malah semakin kuat. Ini layaknya keimanan seseorang yang semakin kukuh, tidak mudah diguncang dan mampu menghadapi kesulitan.
Dari segi bahasa, ketupat juga memiliki makna yang begitu dalam. Momen lebarang yang juga dirayakan dengan saling mengasihi menyayangi, memaafkan satu sama lain tersimbolkan dalam diksi ketupat.
Ketupat atau kupat memiliki beberapa arti. Ada yang mengartikan kupat sebagai gabungan dua kata ngaku lepat (mengaku salah).
Ada pula yang mengartikan kupat sebagai bentuk jamak dari kafi yaitu kuffat yang berarti cukup, cukup mengharapkan hidup dunia setelah menjalani pembenahan jiwa selama Ramadhan.