Banyak dari kita, selama ini mengumandangkan takbir saat Idul Fitri maupun Idul Adha, ada yang menggunakan kata Allahu Akbar sebanyak dua kali, dan ada pula yang tiga kali. Lantas bagaimana sebenarnya redaksi takbiran yang sesuai dengan sunnah Nabi?
Masalah redaksi takbiran ini oleh ulama fiqih, disebut masalah furu’iyah yang ikhtilafiyah. Dan tidak jarang berakibat konflik berkepanjangan, dan terkadang menjadi perbincangan yang “seru”.
Kalau ada yang membawakan hadits yang memerintahkan takbiran, maka hadits itu perlu diselidiki lebih lanjut tentang keshahihannya. Salah satunya adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Thabrani dalam riwayat berikut:
زَيِّنُوا أَعْيَادِكُمْ بِالتَّكْبِيْرِ (أخرجه الطبراني في الأوسط)
Artinya: "Hiasilah hari-hari rayamu dengan takbir" dikeluarkan oleh Thabrani dalam Kitab al-Ausath.
Hadits tersebut, dan juga yang semakna dengannya, dapat dipastikan riwayatnya gharib lagi dla’if.
Satu-satunya dalil yang “agak tegas” tentang takbiran adalah riwayat Ummu Athiyah yang disuruh Rasulullah saw mengeluarkan perempuan-perempuan pergi ke tanah lapang, termasuk gadis-gadis dan perempuan yang sedang menstruasi. Di situ, antara lain dikatakan:
فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ (أخرجه الجماعة)
Artinya: "Dan hendaklah perempuan-perempuan itu bertakbiran mengikuti takbiran laki-laki," HR Jama’ah.
Sementara redaksi takbiran tidak ada yang jelas dan marfu’ dari Rasulullah saw. Karena itu hampir semua ulama mengatakan walafzhuhu wasii’un (bunyinya sangat luas). Artinya, redaksi takbiran itu bisa dibuat sendiri karena yang terpenting di situ ada kalimat membesarkan Allah.
Kesimpulannya, bahwa takbir dua kali atau tiga kali, sama-sama ijtihadiyah, yang insyaallah sama-sama tidak salah. Namun, nampaknya kebanyakan warga Muhammadiyah memilih takbiran Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud, dua orang sahabat yang terkenal sangat cermat dalam masalah ibadah Nabi saw.