Manusia dan alam merupakan satu kesatuan. Hubungan dua elemen itu, seakan tak bisa lepas satu sama lain. Hubungan simbiosis keduanya pun menjadi keniscayaan. Namun, dalam perkembangan manusia modern, alam seakan menjadi objek untuk meneguhkan dan meneruskan kehidupan manusia. Alam yang rusak, sampah dimana-mana, berimplikasi kepada banyaknya bencana alam yang memakan banyak korban jiwa.
Bahkan tak hanya itu saja disinilah diperlukan kesadaran ekologis manusia untuk paham dengan alam. Manusia yang secara sadar peduli dengan alam. Yang menarik adalah, masyarakat kita, dahulu begitu menghargai alam. Hal ini terbukti dengan adanya ritual bersih desa, sebagai bentuk atau wujud penghormatan manusia terhadap alam.
Yang menarik, menurut Frans Magnis Suseno, relasi kehidupan masyarakat jawa dengan alam terbina erat. Kehidupan masyarakat jawa, bermula dari alam. Hal ini terbukti dengan mata pencaharian masyarakat yang erat kaitannya dengan alam, katakan saja seperti Petani, peternak. Petani hidup dari alam. Para petani mengolah alam, untuk menghasilkan bahan makanan.
Lalu, kehidupan yang selaras ini mampu menguatkan sensifitas spiritual. Masyarakat jawa memang hidup di tengah berbagai simbolisme, sebagai wujud spiritual. Kepercayaan terhadap sesuatu “diluar” manusia inilah yang memunculkan simbol-simbol yang mampu menjaga relasi hubungan manusia dengan alam. Salah satunya ialah ritual bersih desa.
Bagkan tak hanya itu saja pasalnya bersih desa merupakan tradisi turun temurun dalam kebudayaan masyarakat . Di jawa khususnya, ritual bersih desa telah dilakukan berabad-abad lamanya. Ritual bersih desa di jawa merupakan wujud bersatunya manusia dengan alam. Ritual Bersih Desa dapat didefinisikan sebagai wujud rasa syukur warga sebuah desa atas berkat yang diberikan Tuhan kepada masyarakat desa, baik dari hasil panen, kesehatan, dan kesejahteraan yang telah diperoleh selama setahun dan juga sebagai permohonan akan keselamatan dan kesejahteraan warga desa untuk satu tahun mendatang.
Ritual Bersih Desa sendiri biasanya dilaksanakan satu kali dalam setahun setelah musim panen tiba dan tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun dari zaman nenek moyang. Hari pelaksanaanya pun tidak sembarangan ditentukan, melainkan ada hari-hari tertentu di dalam kalender Jawa yang merupakan hari sakral untuk melaksanakan Ritual Bersih Desa.
Bahkan tak hanya itu saja rqitual Bersih Desa tidak selalu sama di setiap daerah atau desa karena memang leluhur yang membawa tradisi tersebut berbeda di setiap daerah. Oleh karena itu upacara adat yang dilaksanakan pun berbeda tergantung pada leluhur siapa yang disakralkan.
Hari-hari pelaksanaannya pun berbeda, seperti yang terjadi pada bersih desa di daerah Giwangan, Yogyakarta dengan bersih desa di daerah Sendang Agung, Sleman.
Bagi masyarakat desa Giwangan mengadakan bersih desa pada hari atau tanggalan Jawa Pon merupakan suatu pantangan karena merupakan hari meninggalnya Panembahan Senopati, lainnya hal nya dengan masyarakat di desa Sendang Agung yang mempercayai bahwa Jumat Pon adalah hari yang dikeramatkan oleh Ki Ageng Tunggul Wulung sehingga mereka melaksanakan ritual Bersih Desa di hari tersebut.
Sesajen dan peralatan yang dipergunakan untuk upacara adat pun berbeda, menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang ada di daerah masing-masing atau kebutuhan akan hal tersebut yang memang berbeda-beda. Walaupun berbeda namun secara umum tujuan diadakannya ritual dan tahapan pelaksanaannya dapat dikatakan serupa hanya beberapa detail ritual yang disesuaikan dengan daerah masing-masing.
Kegiatan ini kemudian dilanjutkan dengan persiapan upacara adat yang dilaksanakan untuk wujud sukur dan permohonnan kepada Tuhan YME atas kesejahteraan dan kesehatan yang diberikan kepada warga desannya, di daerah lain kegiatan upacara adat ini dilakukan untuk memohon dan berterima kasih justru kepada leluhur dan dilakukan di makamnya atau dirumah juru kunci makamnya.
Tempat pelaksanaan upacara pada waktu dulu dilaksanakan di Pendopo, tetapi karena kemajuan jaman tempat semakin terbatas maka pelaksanaan tempat upacara dilakukan di tempat Rois atau Kaum.
Kegiatan ini biasanya disertai dengan kirab yaitu iring-iringan yang menyertai perjalanan upacara adat menuju tempat yang dianggap keramat dan dibawa pula sesaji yang berasal dari hasil panen warga desa yang dipersembahkan kepada leluhur sebagai symbol kesejahteraan yang mereka peroleh selama setahun.
Adapun sesaji yang menjadi bagian dari kegiatan upacara adat ini akan dibagikan atau diperebutkan oleh warga desa yang percaya bahwa sesaji tersebut bisa mendatangkan berkah. Umumnya sesaji yang dipergunakan seperti
- Nasi Gurih, sebagai persembahan kepada para leluhur
- Ingkung, sebagai lambang manusia ketika masih bayi dan sebagai lambang kepasrahan pada Yang Maha Agung
- Jajan Pasar, sebagai lambang agar masyarakat mendapat berkah
- Pisang Raja, sebagai lambang harapan agar mendapat kemuliaan dalam masa kehidupan
- Nasi Ambengan, sebagai ungkapan syukur atas rezeki dari Yang Maha Agung
- Jenang, berupa jenang merah putih (lambang bapak dan ibu) dan jenang palang (penolak marabahaya)
- Tumpeng, berupa tumpeng lanang (lambang Yang Maha Agung) dan tumpeng wadon (lambang penghormatan pada leluhur) yang ukurannya lebih kecil
Ritual Besih Desa ini ditutup dengan pegelaran kesenian, biasanya adalah wayang kulit dengan lakon cerita "Makukuhani" atau "Sri Mulih" atau "Sri Boyong" yang mengisahkan legenda Dewi Sri sebagai lambang kemakmuran agar terus bersemayam di desa tersebut.