Malam lailatul qadar jadi malam yang didamba hampir seluruh umat muslim pada bulan ramadan. Namun tidak banyak yan tahu amalan-amalan apa saja yang bakal menuntun untuk mendapatkannya. Untuk mendapat bulan mulia ini tentu tidak hanya cukup dengan keinginann saja.
Memburu Lailatul Qadar memang harus semangat dan giat. Tetapi hanya bermodal semangat itu tidak cukup. Jika dibiarkan bisa jadi tong kosong nyaring bunyinya. Punya semangat tidak ada ilmunya, apa yang harus dilakukan? Ada keinginan tapi tidak tahu cara mendapatkannya. Lantas, apa yang harus dikerjakan untuk menyambut dan mendapatkannya?
Malam Lailatul Qadar adalah malam mulia. Mendapatkannya juga harus dengan cara yang mulia. Cara yang baik dan benar, yang sesuai dengan tuntunan agama. Di malam Lailatul Qadar, apapun yang dilakukan sangat berpengaruh dan bernilai. Tidak tanggung-tanggung nilainya seribu bulan yang secara metematis 83 tahun 4 bulan. Banyak ulama yang menjelaskan bahwa satu kebaikan yang dikerjakan di malam Lailatul Qadar akan bernilai seribu bulan. Sebaliknya, bila yang dikerjakan adalah keburukan, maka akan bernilai seribu tahun juga. Fakruddin al-Razi menegaskan dalam Tafsir-nya bahwa ketaatan di malam Lailatul Qadar dinilai seribu bulan. Demikian juga kemaksiatan di malam Lailatul Qadar juga bernilai seribu tahun hukumannya (‘iqabnya).
Sepuluh terakhir jadi malam yang paling menentukan karena Lailatul Qadar ada di antara malam-malam itu. Untuk itu, apa saja yang harus dilakukan di sepuluh malam terakhir itu agar kita siap menyambut malam Lailatul Qadar dan terhindar dari kemaksiatan?
Pertama, yang harus kita lakukan adalah berdiam atau i’tikaf di masjid sepanjang malam. Setiap langkah menuju masjid bernilai pahala, apalagi jika disempurnakan dengan i’tikaf dan beribadah di dalamnya. Untuk itu, alihkan semua aktivitas di malam hari dengan pergi dan i’tikaf di masjid. Ini cara terbaik agar kita terhindar dari kemaksiatan. Inilah yang diajarkan Rasulullah SAW kepada umatnya, beliau beri’tikaf di sepuluh terakhir Ramadhan untuk mencari malam Lailatul Qadar. Bahkan tidak ketinggalan keluarga dan Sahabat beliau. Dalam riwayat sayyidah Aisyah, Rasulullah SAW bersabda:
كَانَ يَعْتَكِف العَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Artinya:
“Rasulullah SAW biasa beritikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan sampai beliau. Setelah beliau wafat, kebiasaan i’tikaf ini tetap dilanjutkan oleh istri-istri beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedua , qiyamullail (beribadah). I’tikaf tanpa beribadah di masjid tetap bernilai pahala. Namun hal itu tidak sempurna dan kurang utama. Kalau diibaratkan dengan uang, seseorang pasti akan memilih uang yang sangat banyak daripada yang sedikit. Untuk itu, sempurnakan i’tikaf dengan qiyamullail agar bernilai tinggi. Qiyamullah secara umum bermakna ibadah di malam hari, apapun ibadahnya, bisa itu dzikir, istighfar, shalawat, dan lain-lain. Secara spesifik, qiyamullail berarti shalat malam. Maka perbanyaklah shalat atau aktivitas ibadah lainnya sepuluh malam terakhir Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya:
“Barangsiapa yang qiyamullail pada malam Lailatul Qadar karena iman dan hanya berharap pahala kepada Allah, maka dosa-dosanya yang berlalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Ketiga, memperbanyak doa. Kebiasaan kita ialah lebih suka diberi daripada memberi. Seseorang yang diberi sesuatu lazimnya karena melalui permintaan. Ada yang melalui jalur langsung seperti pengemis, dll. Ada juga yang secara tidak langsung, seperti proposal, dan lain-lain. Kedua jalur ini kadang hasilnya bagus kadang juga nihil. Itulah permintaan pada sesama. Berbeda kalau memintanya pada yang Maha Kaya, Allah SWT yang Maha Pemberi. Allah SWT tidak akan pernah menolak permintaan hambaNya. Ini sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya QS. Al-Baqarah: 186 dan QS. Ghafir: 60. Namun secara formal, Rasulullah SAW dalam sabdanya menganjurkan doa berikut:
عن عائِشةَ رَضِيَ اللهُ عنها قالت: قلتُ: يا رسولَ اللهِ، أرأيتَ إنْ عَلِمْتُ أيُّ ليلةٍ ليلةُ القَدرِ، ما أقولُ فيها؟ قال: قُولي: اللَّهُمَّ، إنِكَّ عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفوَ فاعْفُ عَنِّي
Artinya:
“Suatu ketika, sayyidah Aisyah meminta arahan kepada Rasulullah SAW tentang apa yang harus dibacakan kalau bertemu Lailatul Qadar. Rasulullah SAW menjawab, bacalah doa allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul afwa fa’fu anni.” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasa’i).
Kalau kita merasa doa kita tidak diterima, berbaik sangkalah pada Allah SWT. Bisa jadi belum waktunya doa kita diberikan, atau sengaja Allah akhirkan, mungkin diakhirkan di dunia atau di akhirat. Kalau doa kita benar-benar ditolak, jangan salahkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Salahkanlah diri sendiri. Karena barangkali ada yang salah dari kita atau karena menumpuknya dosa. Naudzubillah…
Keempat, memperbanyak baca al-Qur’an. Sederhana alasannya mengapa kita harus memperbanyak baca al-Qur’an. Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’an. Agar al-Qur’an terus membumi, setiap tanggal 17 kita memperingatinya. Pada malam Lailatul Qadar, seluruh ayat al-Qur’an diturunkan ke langit dunia (lauh mahfuzh). Lihat surat al-Qadar. Untuk itu, di sepuluh terakhir ini, sudah sepatutnya kita melangitkan al-Qur’an. Al-Qur’an adalah pedoman yang dapat menyelamatkan dan memberi keberkahan. Momennya tepat berbarengan dengan puasa. Rasulullah SAW bersabda al-Qur’an dan puasa kelak akan jadi penolong, syafa’at di hari kiamat. Berkaitan dengan Lailatul Qadar ini, banyak ulama menjelaskan bahwa al-Qur’an lebih utama dibaca di malam hari. Lebih utama lagi di waktu dini hari sepertiga malam. Bagaimana kalau kita membacanya bertepatan dengan malam Lailatul Qadar? Bukan itu dahsyat dan luar biasa?
Kelima, bersedekah atau berbagi. Bulan Ramadhan dikenal dengan syahrul muwasat (bulan berbagi). Rukun Islam zakat wajib ditunaikan pada bulan ini. Orang-orang juga jor-joran berinfak dan bersedekah. Ini sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dalam penuturan sayyidah Aisyah, bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang paling dermawan di bulan Ramadhan (ajwadun nas fi syahri ramadhan). Lebih-lebih di sepuluh terakhir Ramadhan. Beruntunglah orang rajin berbagi dan celakalah orang yang enggan memberi. Dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa malaikat mendoakan mereka sebagai berikut:
اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُوْلُ اْلآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Artinya:
“Ya Allah, berikan ganti (kebaikan, keberkahan, dll) pada orang yang berinfak. Ya Allah, hancurkanlah orang enggan berinfak (kikir).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Lima amalan ini sangat baik bila dimaksimalkan di sepuluh terakhir Ramadhan ini. Lebih hebat lagi, kalau bacaan al-Qur’an dan doa terintegrasi dalam shalat. Shalat yang biasanya lima menit bisa satu jam karena kita banyak atau panjang membaca ayat al-Qur’an. Sujud kita yang biasanya sekedar subhanallah, akan jadi lama dengan munajat dan doa-doa. Maksimalkanlah ibadah-ibadah individual ini. Kemudian lengkapi dan sempurnakan dengan ibadah sosial berbagi, berinfak dan bersedekah.
Amalkanlah lima amalan di atas. Anda rasakan betapa nikmatnya. Silahkan dapatkan manfaat dan keberkahannya. Di dunia dan juga di akhirat. Jangan lewatkan dan jangan sia-siakan waktu tersisa Ramadhan ini. Selamat mencoba dan mengamalkan. Semoga kita mampu memperoleh Lailatul Qadar itu.