Umat mualim di seluruh dunia sedang melaksanakah ibadah puasa ramadan ahkan tak hanya itu saja pasalnya, umat manusia, terlebih umat Islam, hadirnya bulan Ramadhan disambut dengan penuh riang gembira.
Bahkan tak hanya itu saja kegembiraan itu salah satunya karena di bulan Ramadhan inilah diturunkan Al Qur'an sebagai Kalam Allah untuk menjadi pedoman hidup manusia sekaligus pedoman kembali ke Allah.
Karena itu, bulan Ramadhan juga disebut bulan Al Quran (Syahrul Quran), sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah, ayat 185: Syahru ramadhana unzila fihii Al Qur'an, yaitu bulan Ramadhan inilah diturunkan di dalamnya Al Qur'an.
Namun demikian Ibn Hajar al-Asqalani, dalam kitab Fath al-Bari, menyebutkan kurang lebih terdapat 40 pendapat ulama tentang kapan tepatnya Nuzulul Qur’an.
Al Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diturunkan melalui wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk manusia pada konteks masyarakat Arab yang menempatkan kefasihan dan keindahan berbahasa sebagai ukuran keadaban tertinggi.
Al Qur’an turun dengan estetika bahasa yang tak tertandingi. Banyak penyair hebat Arab takluk dan kemudian beriman karena terpukau oleh bahasa wahyu yang tidak mungkin berasal dari manusia.
Wahyu yang pertama kali turun adalah surat al-Alaq (QS 96: 1-5) yang dimulai dengan perintah “Bacalah”. Dengan demikian, Allah melandaskan ajaran Muhammad pada ilmu dan tradisi ilmiah.
Bahkan tak hanya itu saja wahyu kedua (QS 68: 1-4) dimulai dengan huruf tunggal (nun), yang diikuti dengan sumpah Tuhan demi pena (wal qalami).
Salah satu hal terpenting dari ajaran Al Qur'an adalah dzikrullah, yaitu perintah agar semua manusia selalu memperbanyak dzikir dalam keadaan apapun.
Surat Ar-Ra’ad, ayat 28 memberi pelajaran agar orang beriman hatinya tenteram dan tenang harus memperbanyak dzikrullah, Alaa bidzikrillah tathmainul quluub.
Orang beriman diminta untuk menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya seperti diungkapkan dalam Surat Al-Ahzab, ayat 41-42, udzkurullah dzikran katsiraan.
Namun tak hanya itu saja secara bahasa, dzikir artinya mengingat. Adapun pelaksanaan dzikir ditandai dengan menyebut nama Allah yang dilakukan dengan ritual yang bekelanjutan (istiqomah) yang bertujuan mengingat Allah di mana pun berada.
Dalam praktiknya antara dzikir dan doa dijalankan secara berimpitan. Dzikirmempunyai implikasi psikologis untuk melembutkan mata hati. Maka dari itu, dalam berbagai pengobatan penyakit hati, teknik terapinya adalah melalui dzikir.
Tak hanay itu saja Puncak result manusia yang melakukan dzikir tersebut adalah mendapatkan nur illahiah dalam hidupnya. Dzikir seperti ini di sebut tajali, yaitu sifat dan dzat Allah telah dirasakan oleh orang yang suluk menuju Allah.
Tajali Dzat dilakukan apabila dzikirnya itu melalui proses riadhoh, mujahadah, muraqabah, musyahadah, dan ma’rifatkepada Allah. Stase-stase itu dilakukan secara terus-menerus melalui proses suluk (uzlahah) dari keramaian dunia.
Apabila orang sudah memiliki predikat tajali melalui proses dzikir yang mendalam akan mengetahui rahasia yang ghoib, karena ia telah memiliki fanaillah dengan Allah.
Dzikir yang dilakukan terus-menerus, menurut kalangan sufi diyakini bahwa seseorang telah dikehendaki dan dikaruniai Allah dalam wujud dibukakan pintu hatinya sehingga dekat dengan Allah.
Syekh Abu Sa’id Al- Kharraz mengatakan, “Apabila Allah melindungi seseorang, maka dibukakan-Nya pintu dzikirnya. Jika kelezatan dzikir telah terasa, maka dibukakan-NYA pintu kedekatan (taqarrub) dan diangkatkan-NYA pula martabatnya di hadapan manusia."
"Sesudah itu didudukan-NYA di atas tauhid dan diangkatkan-NYA pula tabir (hijab), sehingga ia mempunyai pandangan tembus (kasyaf). Kemudian dimasukkan-NYA ke dalam alam penuh rahasia (darul fardaniah). Tersingkaplah dinding jalal (kemuliaan) dan ‘azhmah(kebesaran)."