Wabah virus corona yang melanda ternyata telah mendorong lahirnya budaya pengajian secara virtual. Maraknya pengajian yang digelar secara online ini tentu harus diikuti secara bijak agar bisa tetap meniba ilmu dengan nilai-nilai keislaman yang rahmatan lil aalamiin.
Nah, di tengah-tengah semaraknya kajian online di media sosial ini penting kiranya untuk diperhatikan bagaimana menentukan kualifikasi seorang pemateri dapat diambil ilmunya ataukah tidak.
Mula-mula ketahuilah terlebih dahulu latar belakang pemateri tersebut, kepada siapa saja ia belajar tentang ilmu-ilmu keislaman. Mengapa demikian? sebab ajaran agama ini disampaikan melalui suatu transmisi keilmuan yang bermula sejak era Nabi dan para sahabat dahulu sampai sekarang sehingga otentisitas ajaran agama tetap terjaga melalui apa yang disebut sanad.
Setidaknya ada empat hal mendasar yang dapat dijadikan pedoman bagi setiap orang yang ingin mengambil konten ilmu agama melalui kajian online di media sosial. Jika salah satu dari empat hal ini dijumpai pada seorang Ustadz atau penceramah agama, maka segeralah berpindah mencari pemateri yang lain!
Pertama, mereka yang gemar ‘menstandarisasi’ kadar keimanan orang lain dengan melabeli kafir (Takfiri) kepada kelompok yang dianggap berbeda pendapat dengan dirinya, maka sebaiknya jangan mengambil ilmu dari orang semacam ini. Persoalan agama banyak dijumpai khilafiyah (perbedaan pendapat) dari para ulama sehingga terlalu naif apabila sedikit-sedikit menstigmasi orang dengan kekafiran hanya karena ketidaksamaan dalam memilih pendapat para ulama.
Kedua, mereka yang suka sekali membid’ah-bid’ahkan (Tabdi’i) amaliyah kelompak lain hanya karena dianggap tidak ada tuntunannya dari al-Qur’an maupun as-sunnah, padahal amaliyah yang sudah mentradisi di masyarakat tersebut kalau dicari dalil tentang pelarangannya juga tidak akan didapati dalam al-Qur’an maupun as-sunnah. Hanya dengan berbekal satu hadis tentang bid’ah seolah-olah semua ajaran kebaikan dalam agama menjadi sirna.
Ketiga, mereka yang hobi menyandangkan status syirik (Tasyriki) terhadap perilaku saudaranya sesama muslim hanya karena dianggap menyekutukan Allah, yakni tidak menjadikan Allah Swt satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan dimintai pertolongan. Padahal kalau dipikir secara nurani saja, mana ada orang Islam yang dengan sengaja menduakan Tuhannya sendiri yang sejak lahir sudah ia yakini sebagai Dzat yang wajib disembah.
Keempat, mereka yang sering kali menanamkan syak/keragu-raguan (Tasykiki) terhadap ajaran-ajaran Islam yang selama ini dianggap sudah mapan serta dibangun kokoh oleh para ulama di atas fondasi al-Qur’an dan Hadis.
Nah, keempat kriteria di atas dapat diperhatikan melalui sisi isi/konten kajiannya sehingga harapannya setelah orang menyimak kajian dari ustadz yang bersangkutan dapat menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya tanpa merasa diri lebih baik dari orang lain. Wallahualam.