Kiras Bangun atau yang dijuluki "Garamata" masih terasa asing di kalangan pelajar Sumatera Utara (Sumut), khususnya di Medan. Padahal Kiras Bangun adalah salah seorang pejuang dari Tanah Karo yang sudah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2005 lalu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun, ada kisah dari seorang tokoh yang berasal dari Tanah Karo, tepatnya di daerah Batu Karang, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Tokoh kelahiran 1852 ini menggalang kekuatan lintas agama dan lintas suku di Sumatera Utara dan Aceh, untuk melawan penjajahan Belanda.
Dalam melakukan perjuangan melawan Belanda, Kiras Bangun melakukan kerjasama lintas etnis dan agama yang menghasilkan kurang lebih 3000 pasukan. Pasukannya terkenal dengan sebutan Pasukan Urung (Desa), disebut demikian karena pasukannya terdiri dari orang-orang kampung di Tanah Karo dan Aceh. Pasukan Urung beberapa kali terlibat pertempuran dengan Belanda di Tanah Karo.
Kiras Bangun yang memiliki nama lain Garamata (mata merah) berasal dari keluarga yang menguasai adat Karo di Batukarang. Kiras Bangun memiliki empat saudara kandung, seorang perempuan dan tiga orang laki-laki.
Pada masa mudanya Kiras Bangun disekolahkan di Binjai dan menguasai bahasa Melayu serta aksara Karo. Sejak berusia muda, Kiras Bangun dikenal sebagai tokoh muda bijak dalam melakukan pembelaan terhadap hak-hak rakyat yang ingin dirampas oleh Belanda.
Dalam perjalanan hidupnya, Kiras Bangun menyandang banyak jabatan yaitu Sesepuh Adat Karo, Ketua Urung (desa) Lima Senina, Penghulu Lima Senina Batu Karang, Juru Damai Perang Antar Desa dan Pemimpin Urung Tanah Karo.
Perjuangan Kiras Bangun dimulai sejak tahun 1870 saat Belanda menduduki Sumatera Bagian Timur, tepatnya di Langkat dan sekitar Binjai. Saat itu Belanda membuka perkebunan tembakau dan karet di daerah tersebut. Pada tahun 1901, timbul niat Belanda untuk memperluas wilayah perkebunan mereka ke Tanah Karo.
Belanda yang telah mengetahui kharismatik dan kepopuleran Kiras Bangun, mencoba menjalin diplomasi dengan mengirimkan utusan dan menawarkan imbalan berupa uang, pangkat dan senjata. Namun Kiras Bangun menolak tawaran tersebut. Penolakan tersebut mencerminkan sifat Kiras Bangun yang lebih mengedepankan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan pribadinya.
Melalui kemampuan negosiatornya, Kiras Bangun berhasil mengajak raja-raja di Tanah Karo untuk melakukan musyawarah. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan bahwa Belanda diijinkan untuk menjalin persahabatan dengan rakyat Karo asalkan saling menghargai dan menghormati.
Selain itu, Belanda juga dilarang memasuki Tanah Karo dan ikut campur tangan dalam soal pemerintahan di Tanah Karo. Kesepakatan antara raja-raja di daerah Karo tersebut akhirnya menutup kemungkinan Belanda masuk ke Tanah Karo lewat jalur diplomasi.
Belanda tidak kehilangan akal untuk menguasai Tanah Karo, pada tahun 1902 mengirimkan sejumlah pasukan kembali ke Tanah Karo. Kiras Bangun memberikan peringatan kepada Belanda agar segera pergi. Upaya ini ternyata tidak membuat pasukan yang dipimpin Guillaume menyerah dengan masih saja menetap di Tanah Karo hingga 3 bulan lamanya.
Melihat gerak-gerik serdadu Belanda yang semakin mencurigakan, Kiras Bangun terus berusaha menghimpun kekuatan dengan beberapa Urung untuk mengusir Belanda meninggalkan Tanah Karo. Upaya pengusiran ini berhasil, sehingga menimbulkan kemarahan Belanda dan menyebabkan situasi semakin memanas.
Kiras Bangun segera membangun kekuatan dengan melibatkan tokoh Aceh Tenggara dan Aceh Selatan untuk menghindari serangan Belanda yang dapat mengakibatkan kekalahan di pihaknya. Upaya lain yang dilakukanya adalah menggiatkan kembali pertemuan Urung untuk menyiapkan strategi dan rencana melawan Belanda.
Hasil kesepakatan pertemuan Urung ini tercetus ide untuk membentuk pasukan dan benteng pertahanan di setiap Urung. Kiras Bangun tidak patah semangat walaupun mengetahui bahwa persenjataan mereka masih dalam jumlah terbatas dan hanya mengandalkan pedang, parang, tombak dan senapan.
Dengan mengobarkan semangat juang ribuan rakyat di Tiga Jeraya dengan ikatan “Sumpah Setia Melawan Belanda”, Kiras Bangun berhasil mempersatukan beberapa kelompok dengan latar belakang budaya dan etnis berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Bukan hanya pemimpin yang kharismatik, namun Kiras Bangun merupakan orator yang ulung, sehingga dapat mengobarkan semangat juang dari pasukan yang di pimpinnya.
Perjuangan Kiras Bangun melawan Belanda di mulai dari saat Belanda melancarkan serangan pada tahun 1904 yang menewaskan 20 orang pasukan Simbisa Urung. Penyerangan ini dilakukan Belanda di beberapa tempat, termasuk di Kabanjahe. Pasukan Kiras Bangun memberikan dua kali ultimatum, tetapi tetap tidak didengar, bahkan Belanda menambah jumlah pasukan yang lebih besar.
Penyerangan Belanda terhadap pasukan Urung semakin tak terkendali. Ketidakseimbangan dalam aspek persenjataan tentu saja membuat pihak Belanda dengan cepat menguasai satu persatu benteng pertahanan Urung, termasuk menduduki Batukarang dan mengakibatkan gugurnya 30 orang dari pasukan Urung dan menyebabkan Nd. Releng br Ginting, istri Kiras Bangun menderita luka tembak.
Setelah Batukarang berhasil dikuasai Belanda, maka pusat pertahanan berpindah ke Liren, Kuta Gamber, Kempawa, Pamah dan Lau Petundal. Daerah ini terletak di perbatasan Aceh Selatan, Aceh Tenggara dan Tanah Karo. Pemilihan tempat ini dilakukan karena medan yang bergunung, disertai lembah yang terjal, kurang subur serta berpenduduk jarang. Banyaknya korban berjatuhan akibat penyerangan Belanda tidak membuat pasukan Kiras Bangun menyerah.
Selain sumpah yang telah mengikat mereka, semangat bertempur juga berkobar dengan motto yang selalu ditanamkan Kiras Bangun untuk terus melakukan perjuangan terhadap Belanda dimanapun, dengan apa yang dimiliki. Motto tersebut berbunyi “namo bisa jadi aras, aras bisa jadi namo” yang bila diartikan berbunyi sekarang kita kalah, besok kita menang.
Pada kondisi terdesak, Belanda menawarkan Opportinuteits Beginsiel (prinsip oportunitas atau memanfaatkan situasi) untuk Kiras Bangun berunding mengambil keputusan. Jiwa Kiras Bangun yang heroik dan selalu mengutamakan kepentingan rakyatnya membuat beliau menerima penawaran Belanda walaupun dengan berat hati.
Beliau mempertimbangkan perikemanusiaan dan batinnya yang terluka melihat banyak rakyatnya yang tewas menjadi korban pertempuran. Melihat sikap Kiras Bangun beserta pasukan yang berada dibawah pengaruhnya, Belanda melanggar kesepakatan dengan menghukum Garamata dalam bentuk pengasingan di kawasan ladang di Riung selama 4 tahun dan dibebaskan pada tahun 1909.
Selepas ditahan, Kiras Bangun tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap Belanda, rentang waktu 1919-1926 dengan dibantu kedua anaknya Kiras Bangun melancarkan gerakan bawah tanah hingga menimbulkan peperangan di Tanah Karo. Perang ini mengakibatkan dirinya dan kedua anaknya dibuang ke Cipinang sebagai bentuk hukuman dari Belanda. Kiras Bangun tutup usia di tanah kelahirannya di Batu Karang pada 22 Oktober 1942.
Menurut catatan mantan Ketua Umum Yayasan Garamata, Mulia Tarigan, semangat perjuangan Kiras Bangun patut menjadi teladan. Falsafah hidup Kiras Bangun mementingkan kehidupan bersama dibandingkan dirinya sendiri. Sosok seperti Kiras Bangun dapat menjadi teladan agar bangsa Indonesia terus berkembang dalam kondisi sulit sekalipun.
Pada 7 November 2005 berdasarkan SK Presiden RI No.82/TK/Tahun 2005, Kiras Bangun ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional setelah melalui serangkaian riset dari 13 ahli, diantaranya melibatkan pakar sejarah Anhar Gonggong dan Taufik Abdullah. Kisah heroiknya dapat memberikan tauladan bahwa agama dan adat istiadat yang berbeda bukanlah penghalang dan alat pemicu perpecahan, melainkan sebagai unsur pemersatu untuk bersatu membangun tekad dan tujuan demi kepentingan bersama.