Menjalankan puasa ramadan dalam keadaan junub, sah atau tidak puasanya? Pertanyaan tersebut sering kali muncul saat bulan ramadan.
Kasusnya bisa berbeda-beda. Suami istri yang berhubungan badana pada malam hari bulan ramadan namun belum sempat mendi wajib, bisa juga tidur setelah subuh sedang waktu terbangun sadar bahwa dirinya dalam kondisi junub karena mimpi basah, apakah bisa tetap menjalankan puasa ramadan?
Menjawab pertnayaan tersebut kita bisa merujuk pada hadis Nabi SAW. Dalil pokok masalah ini adalah hadis dari Aisyah dan Ummu Salamah radhiallahu ‘anhuma:
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu subuh, sementara beliau sedang junub karena berhubungan dengan istrinya. Kemudian, beliau mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari 1926 dan Turmudzi 779).
Adapun jawaban dari Ustadz Alhafiz Kurniawan, Pengurus LBM PBNU Divisi Publikasi menerangkan bahwa tetap bisa dilaksanakan puasa dalam kondisi junub sebab mimpi basah atau terlambat atau lupa mandi wajib saat malam telah berhubungan badan. Namun jika memungkinkan untuk bersegera mandi wajib dan kemudian melanjtkan berpuasa.
"Orang yang bangun tidur setelah Subuh dalam keadaan junub tetap dapat melaksanakan puasa. Setelah itu dia harus mandi junub. Tidak diwajibkan untuk langsung mandi, tapi kalau bisa langsung, kenapa tidak. Supaya ibadah puasanya tetap berjalan lancar".
"Tapi, kalau kondisinya berhubungan badan kemudian masuk waktu Subuh, yang bisa dilakukan ialah menghentikan aktivitas hubungan seksual dengan cara mencabut Mr P-nya dari kemaluan pasangan. Hal ini dimaksudkan agar puasanya tetap sah".
Pendapat tersebut merujuk pada Syakh Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu‘in pada hamisy I‘anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425 H-1426 H], juz II, halaman 266) yang menyebutkan
“Sama halnya (tetap sah puasa) saat seseorang sedang berjimak lalu tiba waktu terbit fajar, kemudian dia mencabutnya seketika maksudnya setelah fajar terbit, maka puasanya tidak batal sekalipun dia mengalami ejakulasi. Pasalnya, pencabutan Mr P itu sama dengan meninggalkan jimak.”
Menjelaskan keterangan kitab tersebut Ustadz Alhafiz Kurniawan mengatakan "I‘anatut Thalibin mensyaratkan pencabutan kemaluannya itu harus berdasarkan niat untuk mencabutnya. Kalau seseorang tetap melanjutkan aktivitas seksualnya sementara waktu fajar telah tiba, maka puasanya batal. Dia wajib menggantinya di hari lain dan wajib membayar kaffarah".
"Kami menyarankan sebaiknya ketika waktu imsak puasa masuk kita sudah bersiap-siap membersihkan diri dan menyudahi aktivitas makan dan minum, kecuali mereka yang telat bangun. Wallahu a‘lam".