Hari Raya Nyepi tahun Saka 1942 yang jatuh pada Rabu 25 Maret 2020 ini akan terasa berbeda bagi warga Bali.
Pasalnya wabah virus corona menyebabkan pengarakan ogoh-ogoh atau patung raksasa yang biasa dilakukan sehari menjelang Nyepi ditiadakan.
Tradisi mengarak ogoh-ogoh, seperti yang selalu dilakukan setiap tahun, selalu menjadi peristiwa yang dinanti oleh warga, baik umat Hindu maupun pemeluk agama lain.
Pawai ogoh-ogoh tahun ini ditiadakan setelah Gubernur Bali I Wayan Koster mengeluarkan instruksi pelarangan hari Jumat 20 Maret 2020.
Selain melarang pengarakan ogoh-ogoh, gubernur Bali juga memerintahkan agar pelaksanaan upacara Melasti, proses penyucian menjelang Nyepi, diikuti maksimal oleh 25 orang.
Padahal, biasanya proses melasti diikuti hampir semua warga adat desa. Selain itu Pelarangan pawai ogoh-ogoh dan pembatasan jumlah peserta melasti itu keluar setelah gubernur Bali membuat surat edaran bersama dengan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dan Majelis Desa Adat.
Dalam surat edaran pertama tertanggal 17 Maret 2020 itu, ketiga lembaga ini belum melarang.
Seruan masih sebatas imbauan agar pengarakan ogoh-ogoh ditiadakan. Edaran tersebut juga tidak secara spesifik membatasi wilayah pelaksanaan melasti.
Proses melasti biasa dilakukan di tempat-tempat yang dianggap bisa menyucikan.
Misalnya pantai, danau, beji (sumber air), dan campuhan (muara beberapa sungai).
Selama prosesi melasti, umat Hindu mengarak benda-benda sakral dari pura (pratima) sebagai bagian dari penyucian sebelum melaksanakan Catur Brata Penyepian selama 24 jam saat Nyepi.
Foto: Dok Ist
Catur Brata Penyepian
Catur Brata Penyepian adalah empat pantangan yang tidak boleh dilakukan pada saat Nyepi yaitu tidak bekerja (amati karya), tidak menyalakan api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), dan tidak bersenang-senang (amati lelanguan).
Proses itu dimulai pukul 6 pagi dan selesai 24 jam kemudian.
Sehari sebelum melakukan Nyepi, warga mengarak ogoh-ogoh di sekitar rumah mereka, terutama di perempatan desa.
Di Denpasar, misalnya, pawai ogoh-ogoh yang dipusatkan di perempatan Catur Muka, nol kilometer Denpasar, akan menjadi agenda yang dipenuhi ribuan orang.
Adapun melasti biasanya diikuti ribuan orang dengan berjalan kaki menuju pantai.
Namun, kemeriahan itu dipastikan tidak akan terjadi setelah adanya larangan oleh gubernur Bali yang ditujukan untuk membantu mengatasi wabah virus corona (Covid-19).
Foto: ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Penyesuaian Kegiatan Ritual
Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana mengatakan ogoh-ogoh tidak bisa dilarang begitu saja.
Menurut Sudiana, meskipun bukan bagian dari ritual Nyepi secara langsung, ogoh-ogoh tetap tidak bisa dipisahkan dari Nyepi.
"Kita tidak bisa melarang begitu. Karena walaupun tidak bagian dari ritual, ogoh-ogoh ini budaya ritual. Dia lahir dari ritual meski tidak ada kaitan penuh. Orang bikin ogoh-ogoh pasti saat Nyepi. Tidak ada dalam upacara lain," katanya.
Terkait melasti, Sudiana melanjutkan, prosesnya sudah disesuaikan, termasuk dengan pembatasan jumlah peserta.
"Cukup sebagian umat yang ikut, lainnya tidak usah mengikuti," ujarnya.
ia mencontohkan, proses melasti sekarang cukup dengan ngubeng atau berjalan di desanya, tidak perlu ke pantai atau danau yang jauh dari desa adatnya.
Ketua Parum Bendesa Adat se-Kota Denpasar I Putu Antara mengatakan hal serupa.
"Kami sudah berusaha menyesuaikan dengan standar prosedur pemerintah untuk mengantisipasi kesehatan masyarakat," kata Antara kepada wartawan, seperti yang dilansir dari laman BBC.