Sekretaris Kabinet periode 2010-2014, Dipo Alam, mengkhawatirkan pemerintah gegabah melangkah dalam menyiapkan rancangan Omnibus Law Cipta Kerja yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). Inisiatif Pemerintah ini, menurut Dipo telah memancing reaksi keras kalangan buruh.
“Sejak awal sudah kelihatan (Omnibus Law) hanya akan memunculkan gejolak di tengah masyarakat. Di satu sisi Pemerintah melibatkan banyak sekali pengusaha dalam penyusunan draf Omnibus Law tersebut, namun di sisi lain kaum buruh yang juga akan terdampak justru dipinggirkan,” katanya dalam diskusi online yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Minggu 16 Februari 2020.
Menurut Dipo, Pemerintah harus berhati-hati dalam menyusun kebijakan. Setiap beleid yang berpotensi memperbesar ketimpangan atau mencederai rasa keadilan publik, sudah seharusnya tidak dirilis.
Hal ini, lanjutnya, hanya akan memperbesar risiko terjadinya konflik di masa mendatang.
“Kita ingat, pada 1978 dulu, saat Indeks Gini (ukuran kesenjangan) Indonesia mencapai 0.38, yang merupakan rekor tertinggi ketimpangan ekonomi, sehingga meningkatkan angka ketidakpuasan dan turunnya kepercayaan terhadap pemerintah, yang dilakukan oleh rezim militer Orde Baru justru adalah meluncurkan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila),” ujar Dipo.
Gaya seperti itu, dianggap Dipo berulang di Pemerintahan Jokowi. Pada 2010 lalu, saat angka ketimpangan mencapai rekor terbaru 0.41, yang merupakan angka terburuk sepanjang sejarah Indonesia, Pemerintah justru mengeluarkan Perpres No. 54/2017 mengenai pembentukan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), yang kini diubah lagi menjadi BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila).