Google, Temasek, dan Bain & Company baru saja merilis analisa pertumbuhan ekonomi di wilayah Asia Tenggara. Dalam laporan tersebut menyatakan ekonomi digital ASEAN tumbuh lebih cepat hingga 200 Miliar US pada tahun 2022 ini. Selain itu pertumbuhan ekonomi digital Indonesia berpotensi sentuh angka 130 M US di 2025, dan e-commerce menjadi pendorong utama pertumbuhan tersebut.
Ini merupakan kabar baik karena pencapaian angka tersebut terjadi lebih cepat dalam tiga tahun pada proyeksi sebelumnya. Dicatat bahwa terjadi kenaikan 20% dibandingkan tahun lalu yang mencapai nilai US$ 161 miliar, dalam hal nilai barang dagangan bruto (gross merchandize value/GMV).
Hal yang memicu percepatan tersebut adalah meningkatnya pertumbuhan adopsi digital di Asia Tenggara yang kian masif. Disebutkan bahwa terjadi penambahan 100 juta pengguna internet di negara-negara Asia Tenggara dalam tiga tahun terakhir ini.
Baca juga: Art Moments Umumkan Pemenang NFT Art Prized Moments II, Karya Schieva dari MAJA Labs Jadi Runner-Up
Dalam laporan terbaru ini terdapat enam negara besar yang yang menjadi objek analisa ekonomi digital yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam. Namun, tidak membahas populasi di Brunei, Kamboja, Laos dan Myanmar, serta Timor Timur dan Papua Nugini.
Pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. GMV terbesar tahun 2022 berasal dari sektor e-commerce, yakni US$59 miliar. Adapun sektor lainnya yang cukup besar memberikan kontribusi adalah jasa transportasi dan pesan-antar makanan, pemesanan tiket perjalanan, dan media online, masing-masingnya memiliki GMV di bawah US$10 miliar.
"Ekonomi digital Indonesia bernilai sekitar US$77 miliar pada 2022 dan dapat menyentuh angka US$130 miliar pada 2025, dengan e-commerce sebagai pendorong utama," tulis dalam dalam laporan e-Conomy SEA 2022.
Meski ada angin segar dalam hal pertumbuhan ekonomi digital, Google, Temasek, dan Bain & Company menyebutkan ada tantangan ekonomi makro yang perlu diantisipasi yang berpotensi menjadi beban di masa akan datang.
"Dengan perlambatan ekonomi dan pasar tenaga kerja yang melemah, pengeluaran non-esensial konsumen akan berkurang," kata mereka.
"Inflasi harga bahan bakar dan makanan, serta depresiasi mata uang Asia Tenggara mendorong kenaikan tarif transportasi dan pengiriman makanan. Kurangnya ketersediaan produk akibat kebijakan pandemi di Tiongkok juga menghambat arus logistik dan mengurangi akses konsumen ke barang," lanjutnya.