Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menyebut pengembangan obat virus corona (Covid-19) hasil penelitian Universitas Airlangga (Unair) bekerja sama dengan BIN dan TNI Angkatan Darat belum teregistrasi uji klinis di Badan Kesehatan Dunia (WHO).
Obat tersebut belum memenuhi standar ilmiah untuk uji klinis, ditambah laporan hasil penelitian obat belum mendapat review oleh dunia akademis.
"Biasanya setiap uji klinis harus diregistrasi secara internasional, dan protokol harus bisa diakses oleh dunia akademis. Hasil cek uji klinis, Unair belum pernah diregistrasi pada laman https://www.isrctn.com/, https://www.who.int/ictrp/en/," kata Pandu Selasa 18 Agustus 2020.
Baca Juga: Update Corona di RI: 141.370 Positif, 94.458 Sembuh, 6.207 Lainnya Meninggal
Menurut Pandu, WHO telah membuat program solidarity trial untuk penanganan dan pengembangan obat maupun vaksin Covid-19 di seluruh dunia.
Indonesia sendiri, kata Pandu tergabung dalam solidarity trial tersebut sehingga semestinya dalam proses pengembangan obat ini mengikuti prosedur WHO.
"Padahal WHO mensponsori solidarity multi country clinical trials mengikuti semua prosedur," ujar Pandu.
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UI itu mengingatkan seharusnya tim Unair ikut prosedur yang terbuka, dan dilaporkan hasilnya dalam pertemuan akademis prosedur uji klinik.
Pandu menjelaskan, selama tahapan riset obat harus dipantau oleh tim clinical monitoring yang independen. Selain itu, secara administratif dan transparansi mesti ada independent clinical monitor, Data Safety Monitorign Board (DSMB) minimal 3 orang, terdiri dari ahli farmakologi, biostatistik, dan ahli penyakit yang diteliti.
"Dan harus terdaftar di International Clinical Trial Registry, bisa di WHO atau registry lainnya," tegas Pandu.
Pandu juga menyebut ada kesalahan prosedur dalam uji klinis tersebut karena memasukkan orang tanpa gejala sebagai subjek riset. Padahal obat uji klinis lebih tepat diberikan untuk orang yang benar-benar membutuhkan pengobatan seperti pasien dalam kondisi sedang-berat.
Selain itu, Pandu menilai seharusnya laporan riset obat kombinasi tersebut lebih dulu dilaporkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bukan ke TNI atau BIN. Setelah dilaporkan kemudian BPOM mengumumkan ke publik secara terbuka mengenai obat tersebut.
"Ya ini uji klinik pertama obat Covid-19 di dunia yang anomali, dan prosedur riset yang tak terbuka dan klaimnya tidak mengikuti standar uji klinik yang baku. Itu sebabnya akan banyak akademis yang meragukan validitas hasil riset uji klinis Unair tersebut," pungkas Pandu.
Secara terpisah, Ketua Pusat Informasi dan Humas (PIH) Unair, Suko Widodo, menolak memberikan komentar apapun terkait obat tersebut. Ia mengaku masih akan mengomunikasikan hal itu ke Rektor Unair.
Sebelumnya, pengembangan obat Unair-BIN-TNI AD menggunakan tiga kombinasi obat. Pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin. Kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycycline. Ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromyci.
Deputi VII Badan Intelijen Negara Wawan Hari Purwanto menyebut telah menguji pengembangan obat Covid-19 kepada 1.308 orang pasien Covid-19 di Secapa AD, Jawa Barat. Dari hasil penelitian itu, dia mengklaim 85 persen dinyatakan sembuh.
Obat dari gabungan Unari-TNI-BIN ini juga belum mendapatkan izin edar dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Selain itu, tim Unair-TNI-BIN pun belum mengungkapkan secara rinci hasil serta metode uji klinis.
Baca Juga: Fakta Dibalik Jepang Masuk Jurang Resesi, Terburuk Sejak 1995
Sekedar informasi, sampai saat ini WHO belum merekomendasikan satupun obat untuk mencegah atau mengobati infeksi corona.
Sekedar informasi, penyebaran virus Corona atau Covid-19 belum terkendali. Buktinya, semakin hari jumlah pasien yang positif terus bertambah.
Pemerintah kembali mengumumkan pasienya yang positif Corona pada Senin, 17 Agustus 2020 bertambah 1.821 orang, sehingga totalnya menjadi 141.370 orang.
Kabar baiknya, jumlah pasien yang sembuh bertambah 1.355 orang, sehingga total sudah ada 94.458 orang.
Meski demikian, kasus kematian akibat virus Corona atau Covid-19 bertambah 57 orang menjadi 6.20 orang.
Sumber: Kompas, CNN