Batu Tettal merupakan situs prasasti batu perjanjian antara marga pemilik tanah (Sukut Nitalun) antara marga Padang, Solin, dan Berutu yang dalam bahasa setempat disebut Sori Tandang, Sori Gigi, dan Punguten Sori.
Batu bersejarah ini terletak di Desa Jambu Rea, Kecamatan Siempat Rube, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara (Sumut). Lokasi Batu Tettal ini berjarak lebih kurang 6 km dari Ibu Kota Pakpak Bharat yaitu Salak, dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Baca Juga: Air Terjun Lae Singgabit, Destinasi Wisata Alam yang Menarik Dikunjungi di Pakpak Bharat
Situs ini punya perumpamaan dalam bahasa setempat yakni, Kumarna makne ngo lot koden mbellen, asa makne kita sempangan. Kumarna makne ngo lot bages mbelgah, asa makne kita sempeddemen, yang berarti Karena tidak ada lagi periuk besar, makanya kita tidak lagi satu dapur. Karena tidak ada lagi rumah besar, menyebabkan kita tidak lagi satu atap.
Dikutip dari Sopo Panisioan, seorang tokoh masyarakat disana bernama Asi Padang bercerita, jauh sebelum era kemerdekaan, di Lebbuh (Desa) Jambu (sekarang ibukota Kecamatan Si Empat Rube), ke-3 marga ini merupakan kakak beradik yang dilahirkan dari rahim satu ibu, tapi ayah berbeda. Sulung bernama Sori Tandang (Padang), kedua Sori Gigi (Berutu) dan si bungsu Punguten Sori (Solin).
Diceriterakan Asi, si sulung diberi nama Padang, karena pada saat itu sang ibu melahirkannya ketika sedang mencari ubi di padang rumput. Sementara Berutu terlahir di bawah pohon bintutu (sejenis pohon yang permukaan kulitnya kasar-red). Dan persalinan Solin berlangsung ketika si ibu mencari buah bincoli (sejenis umbi-umbian), yang kebetulan saat itu terjadi musim paceklik.
Setelah dewasa mereka bertiga pergi merantau ke lebbuh lain. Singkatnya, jelas Asi, ibarat sebuah reuni, ketiga bersaudara ini pulang kembali ke kampung halaman dan menemukan sebatang pohon durian si kerunggun (perkumpulan-red) yang sedang berbuah satu.
Namun timbul masalah, mereka tidak mengetahui siapa sebetulnya yang paling tua, anak kedua dan yang bungsu. Di tengah kebingungan, disepakati buah durian itu dijadikan bahan pembuktian. Siapa yang berhasil menjatuhkan dan membelah buah durian tersebut hanya sekali menghunjuk dengan jari tangan, dialah diangkat sebagai si sulung dan anak kedua.
Ternyata, Sori Tandang (Padang) berhasil memperoleh kesempatan pertama dan diikuti Sori Gigi (Berutu). Untuk menabalkan kesepakatan persaudaraan ini, mereka bertiga menuliskan perjanjian di atas sebongkah batu, yang isinya Padang, Berutu dan Solin merupakan satu keturunan serta anak hingga cucu laki-laki atau perempuan ketiga marga ini tidak boleh menjadi suami isteri.
Baca Juga: Taman Wisata Iman di Sumut, Objek Wisata Religi Menyimpan Simbol Keberagaman Agama
Di samping itu, fungsi batu tettal dimaksud adalah, salah satu ikrar dan sumpah, bahwa perbuatan kebajikan merupakan sumpah yang harus ditaati. Yang ingkar akan mendapat bala atau musibah di kemudian hari. Untuk memperkuat tali persaudaraan ketiga marga ini, sekira 50 meter ke arah utara dari batu tettal juga ditanam 3 pohon embacang yang hingga kini dua di antaranya (milik Padang dan Solin) masih kokoh tumbuh dan berbuah. Sementara embacang milik Berutu telah tumbang.