Musibah berupa penyakit atau wabah menular dapat diupayakan melalui pengobatan medis yang merupakan ikhtiar lahir manusia. Namun, ikhtiar batin juga penting dilakukan karena tak satu pun peristiwa atau kejadian di dunia tanpa campur tangan Allah SWT.
Perspektif transenden tersebut jangan lantas membuat seseorang berpikir fatalis sehingga tidak mengupayakan ikhtiar-ikhtiar lahir seperti pencegahan, penanganan, dan pengobatan. Karena ikhtiar yang dilakukan manusia juga bagian dari menjalankan perintah agama yang menganjurkan setiap umat Islam untuk berusaha.
Pentingnya menghadirkan nama Allah SWT dalam setiap upaya atau ikhtiar lahir ialah seperti terungkap pada kisah Nabi Musa ketika berusaha mengobati penyaktinya. Kisah tersebut dijelaskan Nadirsyah Hosen.
Ia mengungkapkan sebuah riwayat yang ditulis Imam Ar-Razi dalam tafsirnya. Saat menafsirkan Surah Al-Fatihah, Imam Ar-Razi menuliskan sejumlah kisah yang menceritakan aspek spiritual dari kalimat bismillah. Salah satu kisahnya ini:
Nabi Musa merasakan sakit di perutnya. Beliau mengadu kepada Allah yang kemudian menyuruhnya mengambil sejenis daun di padang pasir. Nabi Musa mengunyahnya dan sembuh dengan izin Allah.
Kemudian Nabi Musa mengalami masalah lagi dengan perutnya, maka Nabi Musa langsung mengunyah kembali dedaunan itu, namun sakitnya malah bertambah nyeri.
Beliau mengadu: ’’Ya Rabb, waktu kali pertama aku makan, aku langsung sembuh. Tapi, kali kedua tidak hanya nggak sembuh, tapi malah bertambah parah.”
Allah menjawab: ’’Kali pertama kamu datang mengadu kepada-Ku memohon kesembuhan. Tapi, pada kali kedua kamu langsung saja mengunyahnya tanpa meminta petunjuk dan izin dari-Ku. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia ini semuanya adalah racun dan penawarnya hanyalah dengan menyebut nama-Ku?”
Hal ini menunjukan bahwa setiap tindakan memerlukan pendidikan batin dengan tetap berdoa kepada Allah. Meskipun tindakan tersebut sesuatu yang biasa kita lakukan. Dalam hal ini, penting untuk tetap memohon ridha Allah dalam setiap amal kebaikan yang kita lakukan.
Peneliti asal Singapura, Mohamed Imran Mohamed Taib (2020) menjelaskan, pemikiran keagamaan terhadap wabah bukanlah pemahaman tunggal. Dalam sejarah pemikiran Islam, kita juga mengenal nama Lisan-ad-Din Ibn al-Khatib (1313-1375)–seorang ilmuwan dan penasihat Sultan Muhammad ke-5 di masa pemerintahan Islam di Granada, Andalusia pada abad ke-14.
Ibn al-Khatib merupakan ilmuwan pertama yang memperkenalkan ‘Teori Contagion’. Dengan menggunakan kaidah sains alam, dan berdasarkan pengalaman dari pengamatan atas wabah Black Death yang menimpa Eropa, termasuk Andalusia di abad ke-14, al-Khatib menolak dengan keras pandangan ulama konservatif terkait kepasrahan kepada Allah dalam menyikapi wabah penyakit menular. Baginya, penyebab wabah mesti dibuktikan melalui data, penelitian, renungan, dan penglihatan secara mendalam.
Di sini menununjukan bahwa dalam peristiwa tersebut terdapat dua corak pemikiran yang saling berseberangan. Pertama, corak pemikiran yang berlandaskan pada postulat agama dan menjelaskan segala hal dari sudut pandang teologi atau pun fiqih.
Kedua, corak pemikiran yang terbuka kepada kajian empirik sehingga jawabannya mengalir dari bukti, bukan atas dasar penerimaan secara dogmatik.
Kita semua juga dapat merenungi kisah yang pernah terjadi pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab. Di mana pada zaman pemerintahan beliau pernah terjadi wabah yang bermula di daerah Awamas, sebuah kota sebelah barat Yerussalem, Palestina.
Muhammad Husein Haekal dalam Umar bin Khattab menjelaskan, kala itu wabah menyebar hingga ke Syam (Suriah) bahkan ke Irak. Diperkirakan kejadian wabah ini terjadi pada akhir 17 Hijriah dan memicu kepanikan massal saat itu.
Sayidina Umar dan pasukannya disarankan untuk berbalik. Namun, salah seorang sahabat mengatakan, apakah lantas dia sebagai pemimpin lari dari takdir Allah? Umar menanggapi bahwa dirinya dan pasukannya lari dari takdir Allah yang satu (buruk) ke takdir Allah yang lain (baik).
Seketika, sahabat Abdurrahman bin ‘Auf memperkuat Khalifah Umar mengenai sabda Nabi Muhammad SAW yang pernah mengatakan:
“Apabila kalian mendengar wabah tha’un melanda suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya. Adapun apabila penyakit itu melanda suatu negeri sedang kalian-kalian di dalamnya, maka janganlah kalian lari keluar dari negeri itu.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim).
Pada akhirnya wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam. Dengan izin Allah SWT dan kecerdasannya, Amr mampu menyelamatkan Syam dari wabah. Amr bin Ash berkata:
“Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Maka hendaklah berlindung dari penyakit ini ke bukit-bukit!”
Saat itu seluruh warga mengikuti anjurannya. Amr bin Ash dan para pengungsi terus bertahan di dataran-dataran tinggi hingga sebaran wabah Amawas mereda dan hilang sama sekali, dikutip dari laman Nu.or.id.