Gunung Merapi sebagai salah satu simbol spiritual Masyarakat Jawa, Khususnya Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Gunung teraktif di Dunia ini setiap tahunnya selalu menjadi pusat ritual bagi penduduk yang ada di sekitarnya. Setahun selepas erupsi, maka tanggal 26 November 2011 di adakan Upacara Sedekah Gunung Merapi. Bertepatan dengan 1 muharam 1433 H dalam penanggalan Islam dan malam 1 Suro dalam penanggalan Jawa, di adakan seremoni labuhan dengan sesaji dan kepala kerbau.
Bertepat di Balai Pertemuan Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengan menjadi lokasi Upacara Sedekah Gunung. DIhadiri oleh pejabat setempat, dari Bupati Boyolali beserta jajarannya dan masyarakat setempat untuk bersama-sama menjalankan ritual tersebut. Seremoni yang setiap tahun di adakan ini menjadi agenda rutin setiap malam 1 Suro, sehingga menjadi sebuah potensi wisata spiritual.
Acara di awali dengan tarian Soreng dari Desa Lencoh. Mengambil sepenggal cerita dari Babad Tanah Jawa, yakni dengan mengambil tokoh Arya Penanggsang. Selain tarian Soreng juga di tampilkan tari Gambyong oleh pemudi-pemudi setempat. usai penampilan tari-tarian, maka ucara inti dimulai.
Setelah sambutan dari pejabat-pejabat setempat, maka dibacakan tentang apa makna dari upacara Sedekah Gunung Merapi. Upcara ini dahulu di lakukan oleh Paku Buwono VI bersama Pangeran Diponegoro yang sering mendaki Puncak Merapi. Sesaji ini di peruntukan untuk Kyai Petruk yang bernama Asli Handoko Kusumo, yang tinggal di Merapi dan Kyai Sarif di Merbabu.
Sesaji dengan potonngan kepala kerbau, nasi tumpeng dari jagung, sayur-sayuran, daging sayam, kopi dan lain sebagainya di doakan bersama sebelum di larung di Puncak Merapi. Doa-doa di kumandangkan kepada Sang Khalik agar senantiasa mendapat berkah dan dijauhkan dari marabahaya Gunung Merapi. Usai di doakan, makan sesaji tersebut di angkut menuju Pos 1 Gunung Merapi dengan diiringi banyak orang. Di Pos 1 yang terletak di Gardu Pandang New Selo, sesaji kemudian di bawa oleh 2 orang untuk di antar menuju Puncak Merapi. Kepala kerbau di bawa oleh 1 orang, dan sesaji lainnya di bawa 1 orang lagi.
Bahkan tak hanya itu saja bersama-sama penduduk setempat, dan penggiat alam bebas bersama-sama menghantarkan sesaji tersebut menuju Puncak Merapi. Ada kepercayaan, setiap yang memebawa sesaji akan mendapatkan kekuatan saat mendaki Gunung Merapi.
Biasa orang mendaki menuju puncak membutuhkan waktu normal 4-6 jam, tetapi bisa di tempuh dalam waktu 2 jam. Sesaji ini akan diistirahatkan sebentar di Pasar Bubrah dan setelah itu akan segera di bawa menuju puncak. Lokasi untuk melarung atau menaruh sesaji terletak di sisi timur laut Puncak Gunung. Disana terdapat sebuah lokasi yang biasanya di gunakan untuk melarung sesaji.
Tak hanay itu saja bahkan biasanya hampir ratusan pendaki Gunung ikut menyemarakan malam 1 suro. Malam yang di anggap sakral oleh masyarakat Jawa ini, digunakan untuk tirakatan. Tirakatan sebuah prosesi lelaku untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta guna mendapat berkah dan rahmatnya. Lelaku dengan "lek-lekan" tidak tidur semalaman dan lelaku "mendaki gunung" menjadi agenda tersendiri, sehingga tidak heran banyak gunung di datangi penggiat alam bebas dan penduduk setempat saat malam 1 suro.
Malam 1 suro sebuah simbol religi bagi Masyarakt Jawa dan Merapi adalah satu lokasi yang dijadikan pusat ritual. Agenda tahunan yang sudah ada sejak lama dan menjadi tradsi. Sebuah potensi wisata religi dan petualangan di hadirkan. Sisi lain mendapatkan berkah dari prosesi Tirakatan juga mendapatkan pesona mistis dan keindahan puncak Merapi yang selalu di hormati dan di sakralkan.