Selamat Hari Kartini buat seluruh wanita Indonesia. Di Hari Kartini ini, Correcto.id akan mengenang para pahlawan wanita perkasa dari Provinsi Aceh.
Mau tahu siapa saja pahlawan wanita perkasa dari Aceh, yuk langsung saja simak berikut ini!
1. Ratu Nahrasiyah
Ratu Nahrasiyah (foto: JejakTapak)
Dr. C. Snouck Hurgronje terkagum-kagum menyaksikan sebuah makam yang demikian indah di situs purbakala Kerajaan Samudera Pasai di Aceh Utara. Makam yang terbuat dari pualam itu, merupakan makam yang terindah di Asia Tenggara. Makam yang dihiasai dengan ayat – ayat Quran tersebut, adalah makam seorang raja perempuan bernama Nahrasiyah.
Ratu tersebut tentu seorang raja yang besar, terbukti dari hiasan makamnya yang sangat istimewa. Ratu merupakan putri Sultan Zain al-Abidin. Sayang, sedikit sekali sumber sejarah tentang dirinya – yang memerintah lebih dari 20 tahun.
Kerajaan Samudera Pasai senantiasa mengeluarkan mata uang emas. Namun, kepunyaan Ratu sampai saat ini belum ditemukan. Sementara itu, dirham ayahnya ditemukan dimana disisi depan mata uang tersebut tercantum “Zainal Abidin Malik az-Zahir”.
Nama Sultan Zain al-Abidin dalam berita–berita Tiongkok dikenal dengan Tsai-nu-li-a-ting-ki. Kronika Dinasti Ming (1368-1643) menyebutkan, Raja ini mengirimkan utusan-utusannya yang ditemani oleh sida-sida China, Yin Ching kepada mahararaja China, Ch’engtsu (1403-1424). Maharaja China kemudian mengeluarkan dekrit pengangkatannya sebagai Raja Samudera dan memberikan sebuah cap kerajaan dan pakaian kerajaan.
Pada tahun 1415 Laksamana Cheng Ho dengan armadanya datang mengunjungi Kerajaan Samudera. Diceritakan, Sekandar, kemanakan suami kedua Ratu, bersama pengikutnya, merampok Cheng Ho. Serdadu–serdadu China dan Ratu Kerajaan Samudera dapat mengalahkan Sekandar. Ia ditanggap lalu dibawa ke Tiongkok untuk dijatuhi hukuman mati. Ratu yang dimaksud dalam berita China itu tidak lain adalah Ratu Nahrasiyah.
2. Sultanah Safiatuddin Syah (1641-1675)
Sultanah Safiatuddin Syah lahir tahun 1612, anak tertua Sultan Iskandar Muda. Puteri Syafiatuddin tumbuh menjadi gadis yang rupawan, cerdas dan berpengetahuan. Setelah dewasa, dia dinikahkan oleh ayahnya dengan Iskandar Thani, putera Sultan Pahang yang dibawa ke Aceh setelah dikalahkan oleh Sultan Iskandar Muda.
Sultanah Safiatuddin Syah memerintah kerajaan Aceh Darussalam selama 35 tahun (1641- 1675). Dimasa pemerintahannya, masa-masa yang paling sulit karena situasi Malaka saat itu sedang panas dengan adanya perseteruan VOC dengan Portugis merebut pengaruh sehingga sang ratu tidak bisa terhindar darinya karena Aceh merupakan pusat dagang utama.
Ia adalah seorang raja besar yang sangat dihormati oleh rakyatnya dan disegani oleh negara asing (Belanda, Portugis, Inggris, India dan Arab).
Ia meninggal 23 Oktober 1675. Oleh penurusnya, Sultanah Safiatuddin Syah tetap dihormati dengan mencantumkan namanya Sultanah pada setempel / segel kerajaan.
3. Ratu Inayat Zakiatuddin Syah
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (foto: Historia Vitae Magistra)
Naqiatuddin Syah meninggal, digantikan oleh Inayat Zakiatuddin Syah. Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Ia digambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang.
Pada masa pemeritahannya, Aceh mendapatkan kunjungan dari Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya. Ratu menolaknya dengan mengatakan, Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri.
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah ini pernah menerima sejumlah hadiah dari dari utusan Raja Syarif Barakat dari Mekkah karena dianggap baik dan sempurna dimasa pemerintahannya yang rakyatnya taat memeluk Islam.
4. Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah
Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (foto: Gema Baiturrahman)
Sultanah Naqiatuddin adalah puteri Malik Radiat Syah. Hal penting dan funamental yang dilakukan oleh Naqiatuddin pada masa pemerintahannya adalah melukakan perubahan terhadap Undang Undang Dasar Kerajaan Aceh dan Adat Meukuta Alam.
Aceh dibentuk menjadi tiga federasi yang disebut Tiga Sagi (lhee sagoe). Pemimpin Sagi disebut Panglima Sagi. Maksud dari pemerintahan macam ini agar birokrasi tersentralisasi dengan – menyerahkan urusan pemerintahan dalam kenegarian-kenegarian yang terbagi Tiga Sagi itu. Namun, setiap Sagi tidak berarti melakukan pemerintahan sendiri-sendiri.
Untuk situasi sekarang, sistim pemerintahan Kerajaan Aceh dulu sama dengan otonomi daerah. Sultanah juga menyempurnakan Adat Meukuta Alam yang dulu dirancang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal lain yang dilakuakan oleh Sultanah adalah mengeluarkan mata uang emas.
Masa pemerintahannya yang singkat (1675-1678), memang tidak ada prestasi besar yang dicapainya. Bebarapa peristiwa besar dialaminya, terbakarnya Mesjid Raya Baiturrahman dan Istana yang banyak menyimpan kekayaan emas dan perhiasan.
5. Ratu Kamalat Zainatuddin Syah
Silsilah ratu ini tidak banyak diketahui. Ada dua versi tentang asal usulnya. Perkiraan pertama ia anak angkat Ratu Sultanah Safiatuddin Syah dan lain pihak mengatakan ia adik Ratu Zakiatuddin Syah. Yang jelas, Ratu Zakiatuddin Syah berasal dari keluarga-keluarga Sultan Aceh juga.
Pada masa Kamalat Syah bertahta, para pembesar kerajaan terpecah dalam dua pendirian. Golongan orang kaya bersatu dengan golongan agama menginginkan kaum pria kembali menjadi Sultan. Kelompok yang tetap menginginkan wanita menjadi raja adalah Panglima Sagi.
Perbedaan pendapat itu sebetulnya bukan sesuatu yang baru dan pernah menimbulkan kontak senjata. Namun, kemudian kedudukan Kamalat Syah tidak dapat lagi dipertahankan setelah para ulama meminta pendapat dari Qadhi Malikul Adil dari Mekkah. Dalam surat balasannya, Malikul Adil menyatakan bahwa kedudukan wanita sebagai raja bertentangan dengan syariat Islam. Ia turun tahta pada bulan Oktober 1699.
Pada masa pemerintahannya, ia mendapatkan kunjugan dari Persatuan Dagang Perancis dan serikat dagang Inggris East Indian Company. Ia sempat pula mengeluarkan mata uang emas.
6. Laksamana Malahayati atau “Keumalahayati”
Laksamana Malahayati (foto: Boombastis)
Wanita Aceh yang satu ini bukanlah pendekar komik dari negeri antah barantah. Ia benar-benar ada. Keumalahayati namanya. Ia seorang Laksamana (Panglima Perang) Kerajaan Aceh. Malahayati merupakan figur yang banyak muncul dalam cacatan penulis asing dan bangsa Indonesia sendiri.
Malahayati menjadi Panglima Angkatan Perang kerajaan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Al Mukammil (1589-1604). Ia mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam militer dari sultan karena keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ia berasal dari keturunan sultan. Ayahnya, Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya dari garis ayahnya, juga seorang laksamana bernama Muhammad Said Syah, putra Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 1530-1539.
Sultan Salahhuddin sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530) pendiri kerajaan Aceh Darussalam. Dilihat dari asal keturunannya, darah meliter berasal dari kakeknya. Pembentukan pasukan wanita yang semuanya janda yang disebut Armada Inong Bale itu merupakan ide Malahayati. Maksud dari pembentukan pasukan wanita tersebut, agar para janda tersebut dapat menuntut balas kematian suaminya. Pasukan ini mempunyai benteng pertahahanan. Sisa–sisa pangkalan Bale Inong masih ada di Teluk Kreung Raya.
7. Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien (foto: Boombastis)
Nama Cut Nyak Dien bagai sebuah legenda. Setelah suaminya, Teuku Umar meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan bersenjata dengan pilihan : hidup atau mati di hutan belantara daripada menyerah kepada Belanda.
Ia membiarkan dirinya menderita dan lapar di hutan sambil terus dibayangi oleh pasukan marsose Belanda yang mengejarnya. Adakalanya ia berminggu-minggu tidak menjumpai sesuappun nasi, makan apa saja ditemui di hutan. Ia melakukan itu selama 6 tahun.
Kebenciannya terhdap Belanda terus makin membara karena beberapa suaminya meninggal ditangan Belanda. Hal ini membuatnya tidak kenal lelah untuk berperang terhadap Belanda.
8. Cut Meutia
Cut Muetia (foto: Klubwanita)
Cut Muetia lahir tahun 1870. Ayahnya, Teuku Ben Daud, seorang uleebalang Pirak yang setia terhadap Sultan Aceh, Muhammad Daud Syah. Ibunya bernama Cut Jah. Ia mempunyai empat saudara laki-laki. Cut Meutia tumbuh menjadi gadis cantik dan bertubuh indah dengan pembawaan yang lembut. Pesonanya sesuai dengan namanya Muetia yang diartikan Mutiara. Kecantikan dan kehalusan budinya membuat dirinya menjadi primadona.
Dibalik kecantikan dan kehalusan budinya, Dia juga tidak kenal lelah mengangkat senjata melawan Belanda yang sangat Dia benci.
Ia tewas tangal 25 Oktober 1910 di hulu Sungai Peutoe setelah pengejaran yang melelahkan oleh pasukan elit Belanda.
9. Pocut Baren
Pocut Baren (foto: Wikipedia)
Pocut Baren lahir di Tungkop. Pocut Baren merupakan profil wanita yang tahan menderita, sanggup hidup waktu lama dalam pengembaraan di gunung dan hutan belantara mendampingi suaminya. Ia disegani oleh para pengikut, rakyat dan juga musuh. Ia berjuang sejak muda dari tahun 1903 hingga tahun 1910.
Ia memimpin pasukannya di belahan barat bersamaan dengan Cut Nyak Dien ketika masih aktif dalam perjuangan. Ia telah mempersiapkan dirinya – bila kelak ditinggalkan oleh suaminya dan sudah tahu apa harus diperbuat nantinya. Ketika suaminya tertembak Belanda, tidak membuat Pocut Baren mundur. Semangatnya malah semakin menggebu melawan Belanda.
10. Pocut Meurah Intan
Pocut Meurah Intan (foto: Merdeka.com)
Pocut Meurah Intan seorang puteri bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ia seorang pejabat bea cukai pelabuhan yang gigih menantang kehadiran Belanda.
Belanda mencatat, bahwa Pocut Meurah salah satu figur dari Kesultanan Aceh yang paling anti Belanda. Dalam laporan kolonial (Koloniaal Verslag) tahun 1905, sampai tahun 1904, satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Aceh yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan.
Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang diwariskannya pada puteranya sehingga mereka bersama-sama dengan pejuang Aceh lainnya menentang Belanda. Ia bercerai dengan suaminya karena Tuanku Abdul Majid menyerahkan diri kepada Belanda. Lalu ia mengajak anak-anaknya terus berperang. Dua diantara anaknya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pemimpin pergerakan.
Intensitas patroli Belanda yang semakin meningkat, membuat Pocut Meuran Intan bersama kedua putranya tertangkap marsose. Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan.
Pocut Meurah Intan yang pincang dengan kedua putranya 6 Mei 1905 kemudian diasingkan ke Blora, Jawa. Pada 19 Septembar 1937 Pocut Meurah Intan meninggal.