Siapa yang tak kenal dengan pahlawan perempuan Indonesia yang aktif memperjuangkan kesetaraan hak perempuan?
Seperti diketahui bahwa Emansipasi wanita mulai mengemuka atas perjuangan Raden Ajeng (R.A.) Kartini.
R.A.Kartini begitu mengidamkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Dirinya ingin membuktikan jika perempuan bisa menggantikan peran laki-laki.
"R.A. Kartini ingin menunjukkan jika perempuan tidak hanya 'konco wingking', artinya perempuan bisa berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan. Perempuan juga bisa menentukan pilihan hidup tak harus atas paksaan orangtua dan perempuan juga bisa sekolah setinggi-tingginya," kata Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Jogjakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya saat dihubungi awak media, Senin, 20 April 2020.
Berdasarkan berbagai literatur, R.A. Kartini lahir di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, pada 21 Januari 1879.
Sebagai informasi, Presiden RI, Ir. Soekarno, melalui surat No.108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964 menetapkan R. A. Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Di surat yang sama, Soekarno juga menetapkan peringatan Hari Kartini sebagai hari besar Nasional yang jatuh pada tanggal 21 April setiap tahunnya.
Tanggal tersebut dipilih sesuai dengan hari lahir R.A. Kartini.
R.A. Kartini adalah putri tertua keturunan keluarga ningrat Jawa atau istilahnya keluarga priyayi. Ayahnya seorang Bupati Jepara yang bernama Raden Mas Sosriningrat.
Sedangkan sang Ibu bernama M.A. Ngasirah yaitu putri anak dari seorang guru agama di Teluwakur, Jepara. Tidak hanya pesohor di kala itu, keluarga Kartini dikenal cerdas.
Sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV adalah sosok cerdas yang diangkat menjadi bupati di usia 25 tahun.
R.A. Kartini kecil berusia 12 tahun menempa pendidikan di sekolah mentereng pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia, Europeesche Lagere School (ELS).
Saat itu, R.A. Kartini begitu menggemari pelajaran bahasa Belanda yang menjadi bahasa komunikasi wajib bagi murid-murid ELS.
Sayangnya, aktivitas belajar di ELS tak dapat berlangsung lama karena ia dipingit dan harus tinggal di rumah.
Meski demikian, R.A. Kartini tak mau mengurung diri, ia justru memanfaatkan kesempatan itu memilih belajar sendiri, membaca, dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda, salah satunya bernama Rosa Abendanon.
Tak lama setelah itu, R.A. Kartini menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat pada tanggal 12 November 1903.
Berkat kegigihannya, dia mendirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini (Sekolah Kartini) di Semarang pada tahun 1912, kemudian menyusul Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Dari pernikahannya, R.A. Kartini memiliki anak pertama sekaligus menjadi anak terakhirnya yang lahir pada tanggal 13 September 1904 bernama Soesalit Djojoadhiningrat.