Anggapan kuasa hukum mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, Maqdir Ismail yang menilai penetapan kliennya sebagai buronan adalah berlebihan ditepis oleh KPK. KPK memasukan tersangka kasus suap-gratifikasi Rp 46 miliar itu dalam daftar pencarian orang (DPO) karena kerap mangkir dan tidak diketahui keberadaanya.
"Nggaklah (berlebihan) sebelumnya KPK juga seperti itu kan ada beberapa tersangka yang kita jemput kalau kita tahu keberdaan yang bersangkutan tapi sampai saat ini tidak tahu keberadaan dari yang bersangkutan makanya kita keluarkan DPO," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat 14 Februari 2020.
KPK, kata Alex, sebenarnya telah melakukan panggilan terhadap Nurhaidi sesuai dengan prosedur hukum. Namun demikian, lanjut Alex, Nurhadi tidak memenuhi panggilan KPK.
"Kita ini kan dalam pemanggilan baik saksi tersangka itu semua berdasarkan ketentuan yang jelas yang bersangkutan sudah kita panggil secara patut ketika yang bersangkutan jadi saksi tidak hadir. Ketika jadi tersangka kita panggil dua kali tidak hadir," ucap Alex.
Apalagi, kata Alex, tim KPK juga mendatangi rumah Nurhadi namun tak menemukannya. Atas dasar itu, Alex mengatakan KPK memasukkan Nurhadi jadi DPO.
"Kita datangi ke rumahnya kosong sesuai peraturan perundang-undangan kita kemudian melakukan upaya paksa dengan DPO," sebutnya.